Tuesday, June 12, 2018

Teori Pilihan Rasional


MAKALAH TEORI-TEORI ILMU POLITIK
“TEORI PILIHAN RASIONAL”

DI SUSUN OLEH :EKA APRIANTI

(1730702062)

DOSEN PEMBIMBING : ALVA 
BERLIANSYAH,S.IP,M.IP


JURUSAN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2018






KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik., Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini di susun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Teori Pilihan Rasional”, yang kami sajikan berdasarkan dari berbagai sumber. Makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama ī dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “teori pilihan rasional” pemikiran untuk memahami dan merancang model perilaku sosial dan ekonomi, Asumsi dasar teori pilihan rasional adalah seluruh perilaku sosial disebabkan oleh perilaku individu yang masing-masing membuat keputusannya sendiri. Teori ini berfokus pada penentu pilihan individu.(individualisme metodologis). Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun membutuhkan kritik dan saran dari pembaca. Terimakasih.

Palembang, Juni 2018

Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.         Latar Belakang
Herfeld dalam laman Max PlanckInstitute, sebuah lembaga riset terkemuka di dunia di Jerman, menjelaskan bahwa konsep pilihan rasional awalnya dikembangkan di masa-masa awal perang dingin setelah berakhirnya perang dunia II. Konsep tentang pilihan menarik minat peneliti dari berbagai disiplin ilmu, diantaranya filsafat, matematika, statistik, dan ilmu komputer. Umumnya para peneliti berusaha membuat logaritma bagaimana proses memilih dalam diri seseorang. Herfeld menjelaskan bahwa Teori Pilihan Rasional kemudian dianggap sebagai konsep Psikologi yang mencoba memahami karakter individu dalam pilihan yang akhirnya dapat meramalkan perilaku seseorang. Walaupun demikian, teori ini juga dikritik bahwa perilaku manusia tidak sekedar sebagaimana diramalkan oleh komputasi rasional. Terutama jika dihadapkan pada pilihan yang kompleks, maka peramalan terhadap pilihan seseorang menjadi lebih rumit dari sekedar rumus komputasi tertentu. Salah seorang tokoh yang dianggap sebagai pendiri konsep pilihan rasional adalah John vonNeumann, seorang ilmuwan matematika. Neumann (1959) membangun konsepnya dengan TheoryofGameofStrategydengan pertanyaan yang akan dijawab adalah “Jika sejumlah (n) pemain diberikan permainan strategy, berapa kali tiap pemain harus memainkan permainan tersebut dalam rangka mencapai hasil yang paling menguntungkan. Neumann berkeyakinan bahwa konsep permainan strategi tersebut merupakan konsep yang juga tergambar dalam kehidupan sehari-hari dimana setiap orang akan berhadapan dengan orang lain sebagai kompetitor dan berusaha mendapatkan hasil maksimal dari persaingan tersebut. Dalam artikel tersebut Neumann berhasil membuat persamaan matematika untuk memprediksi jumlah permainan yang dibutuhkan seseorang untuk mendapatkan hasil maksimal.
Namun demikian, dalam kesimpulannya, Neumann juga menyampaikan bahwa dibutuhkan kajian tambahan dengan menggunakan pemain yang lebih paham dengan permainan stategi yang dimaksud. Neumann ingin menekankan bahwa situasi pilihan mungkin lebih kompleks jika pemain merupakan ahli dari permainan tersebut. Dalam ilmu ekonomi dan filsafat moral, Adam Smith dianggap orang yang mengenalkan konsep pilihan rasional (Scott, 2000; McFadden, 2013). Adam Smith mengenalkan konsep Theoryof Moral Sentimen yang terbit pertama kali pada 1759 dirujuk puluhan ribu kali dalam berbagai artikel ilmiah. Adapun konsep moral Smith menurut Camerer&Loewenstein (2005) mengacu pada dua hal, yaitu passiondanimpartialspectator. Camerer&Loewenstein (2005) menjelaskan bahwa passion yang dimaksud oleh Smith adalah emosi dan dorongan, seperti seks, rasa lapar, marah, takut, atau rasa sakit. Sedangkan impartialspectator adalah kemampuan individu untuk melihat diri dan perilakunya dari perspektif orang luar. Bagi Smith, perilaku seseorang didorong oleh passion dalam dirinya namun dapat dikalahkan jika ia mampu melihat perilakunya dari perspektif orang luar (lihat Smith, 2010). Dalam konteks ekonomi, Smith mengatakan bahwa interaksi pasar/ pertukaran dalam pasar merupakan gabungan konsep kewajaran (fairness) dan perilaku menolong (altruism) (Camerer&Loewenstein, 2005). Adapun konsep kewajaran muncul akibat seseorang khawatir akan penilaian negatif dari impartialspectator, misalnya kekhawatiran terhadap perpsepsi pembeli bahwa harga yang diberikan terlalu mahal. Sedangkan dalam konteks altruism merupakan passion dari interaksi di pasar dimana penjual berniat membantu pembeli dengan menyediakan barang yang dibutuhkan. Sedangkan Scott (2000) menjelaskan bahwa teori pilihan rasional dibangun oleh George Homans pada tahun 1961 yang membangun kerangka berpikir dari exchangeteory yang merupakan asumsi dasar dalam kajian behaviorisme dalam Psikologi. Hal ini dikarenakan pilihan seseorang sangat bergantung pada konsep pertukaran (exchange) dimana seseorang melakukan pilihan tertentu dikaitkan dengan apa yang akan didapatkannya dari lingkungan. Namun pada akhirnya, konsep pilihan rasional menjadi sangat matematis hingga akhirnya konsep ini berupaya diambil alih pada kajian ekonomi mikro. Bagi Homans (1958) setiap perilaku sosial pada dasarnya adalah pertukaran sesuatu yang bermanfaat bagi individu. Pertukaran tersebut menggambarkan empat hal, yaitu: perilaku psikologis, ekonomi, dinamika pengaruh, dan struktur kelompok Namun demikian, dalam kesimpulannya, Neumann juga menyampaikan bahwa dibutuhkan kajian tambahan dengan menggunakan pemain yang lebih paham dengan permainan stategi yang dimaksud. Neumann ingin menekankan bahwa situasi pilihan mungkin lebih kompleks jika pemain merupakan ahli dari permainan tersebut. Dalam ilmu ekonomi dan filsafat moral, Adam Smith dianggap orang yang mengenalkan konsep pilihan rasional (Scott, 2000; McFadden, 2013). Adam Smith mengenalkan konsep Theoryof Moral Sentimen yang terbit pertama kali pada 1759 dirujuk puluhan ribu kali dalam berbagai artikel ilmiah. Adapun konsep moral Smith menurut Camerer&Loewenstein (2005) mengacu pada dua hal, yaitu passiondanimpartialspectator. Camerer&Loewenstein (2005) menjelaskan bahwa passion yang dimaksud oleh Smith adalah emosi dan dorongan, seperti seks, rasa lapar, marah, takut, atau rasa sakit. Sedangkan impartialspectator adalah kemampuan individu untuk melihat diri dan perilakunya dari perspektif orang luar. Bagi Smith, perilaku seseorang didorong oleh passion dalam dirinya namun dapat dikalahkan jika ia mampu melihat perilakunya dari perspektif orang luar (lihat Smith, 2010). Dalam konteks ekonomi, Smith mengatakan bahwa interaksi pasar/ pertukaran dalam pasar merupakan gabungan konsep kewajaran (fairness) dan perilaku menolong (altruism) (Camerer&Loewenstein, 2005). Adapun konsep kewajaran muncul akibat seseorang khawatir akan penilaian negatif dari impartialspectator, misalnya kekhawatiran terhadap perpsepsi pembeli bahwa harga yang diberikan terlalu mahal. Sedangkan dalam konteks altruism merupakan passion dari interaksi di pasar dimana penjual berniat membantu pembeli dengan menyediakan barang yang dibutuhkan. Sedangkan Scott (2000) menjelaskan bahwa teori pilihan rasional dibangun oleh George Homans pada tahun 1961 yang membangun kerangka berpikir dari exchangeteory yang merupakan asumsi dasar dalam kajian behaviorisme dalam Psikologi. Hal ini dikarenakan pilihan seseorang sangat bergantung pada konsep pertukaran (exchange) dimana seseorang melakukan pilihan tertentu dikaitkan dengan apa yang akan didapatkannya dari lingkungan. Namun pada akhirnya, konsep pilihan rasional menjadi sangat matematis hingga akhirnya konsep ini berupaya diambil alih pada kajian ekonomi mikro. Bagi Homans (1958) setiap perilaku sosial pada dasarnya adalah pertukaran sesuatu yang bermanfaat bagi individu. Pertukaran tersebut menggambarkan empat hal, yaitu: perilaku psikologis, ekonomi, dinamika pengaruh, dan struktur kelompok.
Namun demikian, dalam kesimpulannya, Neumann juga menyampaikan bahwa dibutuhkan kajian tambahan dengan menggunakan pemain yang lebih paham dengan permainan stategi yang dimaksud. Neumann ingin menekankan bahwa situasi pilihan mungkin lebih kompleks jika pemain merupakan ahli dari permainan tersebut. Dalam ilmu ekonomi dan filsafat moral, Adam Smith dianggap orang yang mengenalkan konsep pilihan rasional (Scott, 2000; McFadden, 2013). Adam Smith mengenalkan konsep Theoryof Moral Sentimen yang terbit pertama kali pada 1759 dirujuk puluhan ribu kali dalam berbagai artikel ilmiah. Adapun konsep moral Smith menurut Camerer&Loewenstein (2005) mengacu pada dua hal, yaitu passiondanimpartialspectator. Camerer&Loewenstein (2005) menjelaskan bahwa passion yang dimaksud oleh Smith adalah emosi dan dorongan, seperti seks, rasa lapar, marah, takut, atau rasa sakit. Sedangkan impartialspectator adalah kemampuan individu untuk melihat diri dan perilakunya dari perspektif orang luar. Bagi Smith, perilaku seseorang didorong oleh passion dalam dirinya namun dapat dikalahkan jika ia mampu melihat perilakunya dari perspektif orang luar (lihat Smith, 2010). Dalam konteks ekonomi, Smith mengatakan bahwa interaksi pasar/ pertukaran dalam pasar merupakan gabungan konsep kewajaran (fairness) dan perilaku menolong (altruism) (Camerer&Loewenstein, 2005). Adapun konsep kewajaran muncul akibat seseorang khawatir akan penilaian negatif dari impartialspectator, misalnya kekhawatiran terhadap perpsepsi pembeli bahwa harga yang diberikan terlalu mahal. Sedangkan dalam konteks altruism merupakan passion dari interaksi di pasar dimana penjual berniat membantu pembeli dengan menyediakan barang yang dibutuhkan. Sedangkan Scott (2000) menjelaskan bahwa teori pilihan rasional dibangun oleh George Homans pada tahun 1961 yang membangun kerangka berpikir dari exchangeteory yang merupakan asumsi dasar dalam kajian behaviorisme dalam Psikologi. Hal ini dikarenakan pilihan seseorang sangat bergantung pada konsep pertukaran (exchange) dimana seseorang melakukan pilihan tertentu dikaitkan dengan apa yang akan didapatkannya dari lingkungan. Namun pada akhirnya, konsep pilihan rasional menjadi sangat matematis hingga akhirnya konsep ini berupaya diambil alih pada kajian ekonomi mikro. Bagi Homans (1958) setiap perilaku sosial pada dasarnya adalah pertukaran sesuatu yang bermanfaat bagi individu. Pertukaran tersebut menggambarkan empat hal, yaitu: perilaku psikologis, ekonomi, dinamika pengaruh, dan struktur kelompok Hal ini mengacu pada kata “rasional” yang seringkali digunakan oleh ilmuwan matematika sebagai perilaku yang dapat dijelaskan dalam persamaan matematika. Terlepas dari perkembangan teori pilihan rasional dan kritik yang menyertainya, maka konsep teori ini beserta variasi teorinya, seperti: teori pilihan dll., tetap menarik untuk dibahas terutama dalam memprediksikan perilaku dalam konteks sosial, terutama dalam konteks masyarakat. Hal ini juga yang mendorong banyak ilmuan psikologi politik tetap melakukan kajian menggunakan teori pilihan rasional ini. Selain itu, kajian dari psikologi konsumen juga masih sangat membutuhkan teori ini untuk memprediksi bagaimana respon pasar terhadap produk yang diluncurkannya.

1.2.         Rumusan Masalah
A) Apa itu teori pilihan rasionaal ?
B) Bagaimana konsep teori pilihan rasional ?
C) Apa itu postulat-postulat teori pilihan rasional ?
D) Apa maksud dari rasional kognitif ?
E) Bagaimana prestasi-prestasi teori pilihan rasional ?
F) Bagaimana teori pilihan rasional dipergunakan sebagai sebuah teori umum ?
G) Apa saja prinsip-prinsip teori pilihan rasional ?
H) Apa saja alasan-alasan atas kekurangan-kekurangan teori pilihan rasional ?

1.3.         Tujuaan

Untuk bisa memberikan ilmu mengenai politik dengan materi teori pilihan rasional serta mampu memahami dan bisa implementasi dalam menerapkan ilmu ini.



BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PengertianTeori pilihan rasional

'Teori pilihan rasional, kadang disebut teori pilihan atau teori tindakan rasional, adalah kerangka pemikiran untuk memahami dan merancang model perilaku sosial dan ekonomi. Asumsi dasar teori pilihan rasional adalah seluruh perilaku sosial disebabkan oleh perilaku individu yang masing-masing membuat keputusannya sendiri. Teori ini berfokus pada penentu pilihan individu (individualisme metodologis).
Teori pilihan rasional juga berasumsi bahwa seseorang memiliki preferensi di antara beberapa pilihan alternatif yang memungkinkan orang tersebut menyatakan pilihan yang diinginkannya. Preferensi tersebut dianggap lengkap (orang tersebut selalu dapat menentukan alternatif yang mereka inginkan atau tak ada alternatif yang diinginkan) dan transitif (apabila pilihan A lebih diinginkan daripada pilihan B dan pilihan B lebih diinginkan daripada pilihan C, maka A lebih diinginkan daripada C). Agen rasional kemudian mempertimbangkan informasi yang ada, kemungkinan peristiwa, dan potensi biaya dan keuntungan dari menentukan pilihan, dan bertindak konsisten dalam memilih tindakan terbaik.
Rasionalitas sering dijadikan asumsi perilaku individu dalam model dan analisis ekonomi mikro dan muncul di hampir semua penjelasan pembuatan keputusan manusia yang ada di buku pelajaran ekonomi. Rasionalitas juga penting bagi ilmu politik modern sosiologi, dan filsafat. Versi turunan dari rasionalitas adalah rasionalitas instrumental yang meliputi pencarian cara paling hemat biaya untuk meraih tujuan tertentu tanpa melihat berharga atau tidaknya tujuan tersebut. Gary Becker adalah salah satu pendukung penerapan model perilaku rasional secara luas. Becker dianugerahi Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1992 atas penelitiannya tentang diskriminasi, kejahatan, dan modal manusia.

2.2. Konsep Teori Pilihan Rasional
Boudon (2009) mengatakan bahwa teori pilihan rasional menekankan pentingnya kata “rasional” dimana kata ini bermakna bahwa perilaku merupakan proses koginisi yang harus dapat dijelaskan. Selain itu teori ini juga dijelaskan menggunakan istilah “utilitymaximizingapproach” berupa konsep bahwa seseorang akan melakukan pilihan yang sangat menguntungkan bagi dirinya. Konsep utilitymaximizingapproach mungkin bisa dilihat kesamaannya dengan teori pilihan rasional dari eksperimen Neumann (1959) yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan “seberapa banyak pemain harus bermain untuk mendapat keuntungan maksimal?”.Konsep Teori Pilihan Rasional secara teoritik bisa sangat kuat namun ketika menjelaskan fenomena sosial menjadi sangat lemah (Boudon, 2009). Pada saat memprediksi kemungkinan munculnya perilaku seseorang bisa jadi teori ini sangat bermakna sehingga survey-survey menjelang pemilihan umum menjadi sumber yang dianggap paling dipercaya untuk menjelaskan kemungkinan siapa yang akan dipilih oleh responden. Namun jika terjadi fenomena, sebagaimana ketidak-sesuaian hasil survey dalam contoh diawal maka teori ini sangat lemah dalam menjelaskan fenomena tersebut.Namun demikian, hal ini tidak menghambat penggunaan teori ini dalam berbagaiaplikasinya terutama dalam psikologi politik, psikologi konsumen, dan psikologi moral.
Secara konseptual, teori ini masih merupakan teori yang baik dalam memprediksi perilaku seseorang dalam situasi tertentu. Kajian politik, terutama tentang perilaku pemilih masih sangat membutuhkan teori pilihan rasional dalam memprediksi perilaku pemilih, begitu juga psikologi konsumen yang membutuhkan prediksi bagaimana konsumen memilih produk tertentu, begitu juga psikologi moral yang membutuhkan teori ini untuk memprediksi apakah seseorang akan melakukan perilaku berdasarkan nilai moral tertentu.

2.3. Postulat-PostulatTeori Pilihan Rasional
Dalam kamus besar bahasa Indonesia Postulat dapat diartikan sebagai asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar; aksioma. Boudon (2009) mengatakan bahwa teori pilihan rasional memiliki enam postulat, yaitu:
1) setiap fenomena sosial adalah akibat dari pilihan seseorang, perilaku, sikap, dsb.,
2) perilaku dapat dipahami. Postulat pertama menunjukkan bahwa fenomena sosial
merupakan gambaran dari berbagai aspek personal, diantaranya pilihan, sedangkan postulat
kedua menjelaskan bahwa fenomena tersebut adalah rangkaian dari kejadiankejadian yang
dapat dipahami.
3) pospulatketiga merupakan pospulat yang mendasari kata rasinal yaitu prilaku.  perilaku
muncul sebagai akibat dari alasan-alasan yang ada dipikiran.Postulat.
4)mendasarkan pada pernyataan, bahwa alasan-alasan terhadap pilihan sebuah perilaku
didasari pada penilaian terhadap konsekuensi dari pilihan tersebut.
5) penilaian terhadap konsekuensi didasarkan pada akibat yang akan dirasakannya oleh
individu yang mengambil keputusan (egoisme).
6) Individu akan mengambil pilihan yang dirasakan paling menguntungkan bagi dirinya.

Adapun kajian tentang pilihan rasional memiliki dua prinsip utama, yaitu dominasi dan invariasi. Hal itu dijelaskan oleh Kahneman&Tversky (1984: 343) sebagai berikut:
  • Konsep dominasi menunjukkan bahwa sesuatu (A) dipilih dari yang lain (B) karena sesuatu tersebut (A) memiliki keunggulan dari yang lain (B). Namun demikian, keunggulan tersebut tidak harus pada segala aspek namun setidaknya sesuatu yang dipilih (A) memiliki salah satu aspek yang lebih unggul daripada yang lain (B). Prinsip ini menunjukkan bahwa pilihan tersebut akan sangat tergantung dari keuntungan yang akan diperoleh.
  • konsep invariasi menunjukkan bahwa preferensi/ minat dari pemilih terhadap pilihan yang tersedia tidak tergantung pada cara pilihan tersebut digambarkan. 

Dengan demikian, konsep pilihan rasional mengatakan bahwa pilihan akan rasional apabila tidak dipengaruhi oleh cara menggambarkan pilihan yang tersedia baik A maupun B seharusnya digambarkan secara setara. Dengan demikian, seseorang akan memiliki pilihan yang rasional jika A dan B dijelaskan secara netral.

2.4.Rasional Kognitif
Sebuah contoh Tocqueville (1986 [1856]) menggambarkan bagaimana alasan-alasan atas keyakinan-keyakinan dan perilaku actor-aktor kini bersifat “kognitif’. Dia bertanya-tanya mengapa kaum intelektual perancis pada akhir revolusi sangat kuat diyakini dalam gagasan tentang meyakini Reason (Alasan) dalam huruf besar dan mengapa gagasan itu dengan cepat tersebar luas di kalangan public seperti api yang berkobar-kobar. Hal ini adalah suatu fenomena yang enigmatic, yang tidak terlihat pada waktu itudi inggris, Amerika Serikat, ataupun Jerman. Dan merupakan fenomena yang memiliki konsekuensi makrokospik yang luar biasa besar.
Penjelasan Tocqueville termasuk menunjukkan bahwa orang-orang perancis di akhir abad kedelapan belas memiliki alsan-alasan yang kuat untuk meyakini pada Reason (Alasan). Diperancis pada waktu itu, banyak lembaga tradisional yang tampaknya tak abash. Salah satunya adalah ide bahwa kaum bangsawan lebih tingggi kedudukannya dibandingkan dengan Majelis Ketiga (Third Estate). Kaum bangsawan tidak berpartisipasi dalam urusan-urusan politik maupun kehidupan ekonomi warga setempat; mereka lebih menghabiskan waktu mereka di Versailles. Orang-orang yang tetap tinggal di daerah pedesaan berpegang sangat teguh pada hak-hak istimewa meraka, semakin miskin mereka semakin kuat mereka berpegang pada hak-hak istemewa itu. Hal ini menjelaskan mengapamereka dipanggil dengan nama sejenis burung kecil yang biasa menjadi mangsa burung lain, hobereau; suatu metaphor yang secara menyebar luas karena dianggap pas. Penyamaan-penyamaan berikut ini terpatri dalam banyak pemikiran; Tradisi=Disfusi=Ilegitimasi, dan sebaiknya, Alasan=Kemajuan=Legitimasi. Oleh karena alur argument ini adalah latent atau tersembunyi dalam pikiran-pikiran orang muka seruanpara filsuf untuk membangun suatu masyarakat yang didirikan atas dasar Alasan langsung menuai sukses.
Di sisi lain, orang-orang Inggris mempunyai alasan yang bagus untuk tidak meyakini ide-ide itu. Di Inggris, kaum bangsawan memainkan peran yang sangat penting: mereka menjalankan kehidupan social, politik dan ekonomi setempat. Superioritas yang dinisbahkan kepada mereka dalam pemikiran tradisional rakyat biasa dan oleh lembaga-lembaga Inggris dipahami sebagai sesuatu yang fungisional dan dengan demikian sah. Secara umum, lembaga-lembaga tradisional Inggris tidak dianggap sebagai disfungsional. Dengan kata lain, disiniTocqueville menyodorkan sesuatu penjelasan antara Perancis dan Inggris; orang mempunyai alasan-alasan untuk bereaksi seperti yang mereka lakukan apa adanya, tetapi alasan-alasan ini tidak bersifat instrumental (Boudon2006).
Suatu keberatan terhadap GTR adalah bahwa tindakan kerap didasarkan padaide-ide yang keliru dan bahwa dalam kasus seperti itu tindakan yang diambil tidak bisa dianggap rasional. Akan tetapi, berlawanan dengan ide yang diambil tidak bisa dianggap rasional. Akan tetapi, berlawanan dengan ide yang umum diterima ini, keyakinan-keyakinan palsu bisa didasarkan pada alasan-alsan yang kuat yaitu alasan-alasan yang dianggap valid oleh subjek yang bersangkutan dan dalam pengertian itu menjadi rasional seperti yang tampak pada contoh-contoh yang biasa kita kenal.
VilfredoPareto benar ketika mengatakan bahwa sejarah ilmu pengetahuan adalah kuburan dari semua ide semua ide keliru yang pernah didukung oleh manusia dibawah otoritas para ilmuwan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan biasanya menghasilkan ide-ide yang keliru disamping ide-ide yang keliru itu didukung dan dibenarkan oleh para ilmuwan dibawah pengaruh sebab-sebab yang irasional, karena otak para ilmuwan barangkali sudah begitu kacau, atau karena pikiran mereka mungkin sudah dikaburkan oleh “bias-bias kognitif”, “kerangka-kerangka”, “habitus” yang tak memadai, oleh kepentingan-kepentingan kelas atau sebab-sebab efektif, atau dengan kata lain kekuatan-kekuatan “biologis”, “psikologis”, atau “budaya” sebagaimana dinyatakan oleh Becker. Para ilmuwan percaya ada pernyataan-pernyataan yang kerap terbukti palsu atau keliru karena karena mereka mempunyai alasan-alasan kuat untuk meyakininya, mengingat konteks kognitifnya.
Kita tidak lagi percaya pada gagasan bahwa alam membenci kekosongan. Akan tetapi, Aristoteles dan sebagian besar orang yunani percaya, tentunya bukan karena mereka irasional, melainkan karena mereka tidak tahu bagaimana menjelaskan banyak fenomena. Orang-orang yang percaya pada teori Aristoteles tentang barometer, percaya pada phlogiston, percaya pada ether atau pada banyak entitas dan mekanisme-mekanisme yang sekarang tampak dimata kita sesuatu yang imajiner sudah memberikan konteks kognitif, dizaman mereka, alasan-alasan yang kuat untuk memercayai semua itu. Hal itu tidak langsung dipahami sebagai sesuatu yang penting sehingga, ketika sedikit oksida merkuri dipanaskan dibawah satu gelas bel kosong, setetes air yang tampak didinding gelas bel itu juga harus diperhatikan. Tidak langsung terlihat bahwa tetes air itu muncul dengan teratur, juga tak dipahami dengan jelas bahwa hal itu bertentangan dengan teori phlogiston. Saat itusulit untuk memprediksi bahwa tetes air ini akan member kemenangan kepada Lavoisier berhadapan dengan Priestley.
Mengapa keyakinan-keyakinan yang keliru atau palsu yang dihasilakn oleh pengetahuan biasa tidak boleh dijelaskan dengan cara yang sama dengan keyakinan-keyakinan ilmiah yang keliru, yaitu sebagai pengetahuan yang dalam benak sisubjeksocial didasarkan pada alasan-alasan yang mereka pahami sebagai pengetahuan yang valid, mengingat konteks kognitif dimana mereka bergerak.
Tak pelak, keyakinan-keyakinan yang keliru sekutunya tidak selalu dijelaskan dengan cara ini. Bahkan para ilmuwan mungkin saja percaya pada keyakinan-keyakinan palsu dibawah pengaruh nafsu dan sebab-sebab lain yang benar-benar irasional. Tetapi keyakinan dalam ide-ide yang keliru bisa juga disebabkan oleh alasan-alasan yang ada dalampikiran-pikiran para akto. Bahkan, sekalipun alasan-alasan ini bagi kita kelihatan palsu atau keliru, alasan-alasan itu tetap bisa dipahami sebagai alasan-alasan yang benar dan kuat oleh actor-aktor itu sendiri. Untuk menjelaskan bahwa mereka memahami sebagai sesuatau yang benar dari yang salah itu, kita tidak perlu berasumsi, bahwa pikiran mereka dikaburkan oleh mekanisme-mekanisme konjektural seperti yang dibayangkan oleh Marxism (“ kesadaran palsu”), SigmundFreud (“ketidaksadaran”), Lucien Levy- Bruhl (mentaliteprimitive), dan banyak pengikut mereka, tidak juga oleh “kerangka-kerangka” yang ditawarkan oleh TPR. Dalam kebnyakan kasus, kita mendapatkan penjelasan-penjelasan yang lebih bisa diterima dengan berasumsi bahwa, mengingat konteks kognitif tempat mereka bergerak, actor-aktor mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk percaya padaide-ide yang keliru itu.

Berusaha Bunuh Diri
Tidak Berusaha Bunuh Diri
Total
Gejala-gejala depresi
a
b
e = a+b
Tidak ada gejala-gejala depresi
c
d
f  = c+d
Total
g = a+c
h = b+d
i = a+b+c+d
Gambar 1.1. satu asumsi kasual dapat berasal dari informasi a jika a jauh lebih besar dari, misalnya i.
Di tempat lain saya sudah memberikan beberapa contoh yang menunjuk kan bahwa penjelasan rasional atas keyakinan-keyakinan yang kita anggap normal dalam kasus keyakinan-keyakinan ilmiah yang keliru dapat juga diterapkan pada pengetahuan biasa. Saya terutama sudah mengeksplorasi kasus-kasus kepercayaan-kepercayaan magis atau takhayul dan banyak keyakinan keliru lain yang diamati oleh para psikolog kognitif ( Boudon 2001).
Saya akan membatasi diripada satu contoh yang menjadi bagian dari kategori kedua. Ketika para psikiatris ditanya apakah depresi adalah satu penyebab orang melakukan percobaan-percobaan bunuh diri, mereka akan mengatakan “ya”. Ketika ditanya mengapa, mereka akan menjawab bahwa mereka sudah kerap mengamati pasien-pasien memperlihatkan dua aspek: banyak diantara pasien-pasien mereka tampak depresi dan telah mencoba bunuh diri. Tentu saja jawaban ini menunjukkan bahwa para psikiatris itu menggunakan sepotong informasih dalam table kemungkinan dalam gambar 9.1: Argumen mereka mengatakan bahwa “a adalah tinggi, sehingga depresi adalah satu penyebab orang melakukan percobaan bunuh diri.”
Nah guna menyimpulkan bahwa ada suatu korelasi antara depresi dan percobaan-percobaan bunuh diri, orang harus memerhatikan tidak hanya satu, melainkan empat potong informasi, buka hanya “a” juga “a/e-c/f”yang berbeda-beda. Jadi tidak valid. Akan tetapi. Ini tidak membuktikan bahwa kita sebenarnya berasumsi bahwa, katakanlah, otak psikiatris itu adalah sangat kacau. Yang lebih mungkin, mereka memilikialasan-alasan yang kuat secara subjektif dan valid secara objektif untuk meyakini apa yangmereka yakini. Misalkan 20 persen dari pasien-pasien si psikiatris ini memiliki gejala-gejala depresi, dan bahwa “g” juga sama dengan20 persen (20 persen dari pasien-pasien yang ada itu pernah mencoba bunuh diri). Tentu saja angka yang lebih tinggi justru tidak realistis. Dengan asumsi ini, dalam kasus dimana persentase “a” dari orang yang mewakili kedua factor itu lebihbesar dari 4, maka kedua variabel itu akan menjadi berkorelasi, sehinga kausalitas itu mungkin bisa dikatakan ada. Jadi, seorang psikiatris yang sudah melihat, katakanlah , 10 dari 100 orang yang mewakili kedua factor itu akan punya alasan-alasan yang serius untuk percaya pada adanya sebuah hubungan kausal antara kedua aspek diatas.
Dalam contoh ini, keyakinan si psikiatris itu tidak sepenuhnya keliru. Dalam contoh-contoh lainnya, keyakinan-keyakinan yang dihasilkan oleh psikologi kognitif tampaknya benar-benar keliru. Akan tetapi, dalam sebagian terbesar kasus, saya dapati bahwa keyakinan-keyakinan ini bisa dijelaskan sebagai sesuatu yang didasarkan pada alasan-alasan yang bisa denganmudah dipahami oleh pengamat.
Tampaknya alasan-alasan ini bukanlah dari tipe “keuntungan minus biaya”. Yang ini merupakan alasan-alasan yang sifatnya kognitif. Tujuan yang ingin dicapai oleh actor bukanlah memaksimalkan sesuatu, melainkan untuk menentukan apakah sesuatu itu mungkin atau benar. Jadi, selain dimensi instrumentalnya, rasionalitas juga memiliki dimensi kognitif. Secara keseluruhan, GTR memberikan suatu penjelasan yang lebih bisa diterima tentang banyak banyak fenomena ketiimbang solusi ekleti yang tersebar luas yang mencoba untuk menjelasakan perilaku dengansuatu campuran antara rasionalitas instrumental dan kekuatan-kekuatan irasinal. Solusi ekletik berawal dari ide bahwa pilihan bisa dianggap rasional, tetapiperilaku bisa dianggap sebagai sesuatu yang memasukkan komponen-komponen irasional yang tak terhindarkan, yaitu, karena sebagian disebabkan leh kekuatan-kekuatan sosiokultural anonym yang ada diluar kendali apa pun leh pihak individu (Elster 1989). Sebaikanya, Weber, dan sosiologi-sosiologi sebelumnya, antara lain Tocqueville, juga banyak sosiolog modern yang mendefinisikan diri mereka sendiri dalam pengertian sosiologi interpretative versi Weberian, berangkat dari ide bahwa keyakinan-keyakinan, preferensi-preferensi, dan nilai-nilai seorang individu dapat dianalisis sebagai pilihan rasional individu yang bersangkutan. Akan tetapi, teori ini mengimplikasikan bahwa kita menerima suatu teori tentang rasionalitas termasuk rasionalitas kognitif, dan penolakanatau deklinasi aksiologis rasionalitas kognitif, dan penolakan atau deklinasi aksiologis rasionalitas kognitif, disamping rasionalitas instrumental.
Pandangan tentang rasinalitas kognitif dapat dirumuskan dengan mudah andaikan suatu sistem argumen-argumen [S] → P yang menjelaskan suatu fenomena P, secara kognitif adalah rasional untuk menerima [S] sebagai satu penjelasan yang valid atas P jika semua komponen [S] bisa diterima dan saling cocok dan juga salingcocok dan jika tidak tersedia penjelasan lain berupa [S]’ yang lebih yalaya dikuasai bagi [S].
Gagasan untuk menjelaskan keyakinan-keyakinan secara rasional dapat gambarkan dengan satu contoh. Para fungisionaris, personel militer, dan para politisi dizaman romawi kuno tertarik pada Mithraisme dan agama Kristen, dan di Prusia modern dibawahFreemasonry, karena pemujaan–pemujaan ini bercirikan suatu visi tentang transendensiyang spiritual yangtunduk kepada hukum-hukum yang lebih tinggi dan suatu konsepsi tentang komunitas pemeluk sebagai satu kelompok yang harus diorganisir secara hierarkis melalui cara-cara inisiasi ritual. Nah, ajaran-ajaran yang mengatur keimanan seperti dalam agama-agama adalah konsisten dengan filsafat social dan politik pada kategori-kategori social ini. Anggota-anggotanya percaya bahwa suatu sistem social hanya bisa berfungsi dengan baik jika diatur atau dikendalikan oleh satu masyarakat terorganisir secarah hierarkis fungisional , dan bahwa hirarki itu harus didasarkan pada kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan yang ditentukan sesuai dengan prosedur-prosedur formal, seperti yang terjadi pada Negara Romawi kuno dan Prussia, secara keseluruhan prinsip-prinsip bagi organisasi politik dari suatu Negara yang “ birokratis”, adalah dalam pandangan mereka, merupakanrefleksi dari satu filsafat politik yang valid . dan mereka memahami ritual-ritual inisiasi Mithraismdalam kasusperwira-perwira dan pegawai-pegawai pemerintah Romawi atau Freemasonry dalam kasus pegawai-pegawai negeri Prusia sebagai prinsip-prinsip yang sama didalam suatu bentuk metafisik-religius.
Berikut adalah suatu contoh lain, masih dari Weber: dia menjelaskan mengapa kaum petani sulit menerima monoteisme karena sifat fenomena alam yang serba tak pasti itu di mata mereka sama sekali tidak cocok dengan gagasan bahwa tatanan yang mengatur segala hal bisa tunduk pada satu kehendak. Monoteisme adalah suatu pandangan yang mana di dalam dirinya sendiri mengisyaratkan adanya suatu derajat minimal koherensi dan keterdugaan.

2.5. Rasionalitas Aksiologis
“Rasionalitas aksiologis”-nya Weber dipahami sebagai sesuatu yang sama dengan atau sinonim dengan “konformitas nilai”. Alih-alih, saya juistru akan mengusulkan untuk mempertimbangkan bahwa pernyataan itu akan mengusulkan untuk mempertimbangkan bahawa pernyataan yang ada dalam pikiran aktor-aktor sosial didasakan pada sistem-sistem alasan yang mereka pandang valid, tepatnya sebagai keyakinan-keyakinan deskriptif (Boudon 2001).
Rasionalitas aksiologi bisa didefinisikan secara formal bila suatu sistem argumken-argumen N mengandung sedikitnya satu pernyataan aksiologi dan menyimpulkan bahwa norma N adalah valid, semua komponen |Q| dapat diterima dan saling cocok satu sama lain, maka secara aksiologi, adalah rasional untuk menerima N jika tidak ada sistem argumen lain |Q|’ yangb dapat menggantikan |Q| dan kemungkinan untuk lebih memilih N’ ketimbang N pun tersedia.
Instusi yang terkandung dalam pandangan Weber ini tampaknya sudah ada pada pemikir-pemikir terdahulu, seperti contoh Adam Smith, yang dengan sendirinya merupakan bukti tak langsung relevansinya. Meski diakui bahwa karya Smith Theoryof Moral Sentimens tidak bersandar padsa TPR, kadang-kadang orangn percaya bahwa karyanya yang lebih baik The WealthofNations didasarkan pada TPR. Tetapi contoh berikut ini menunjukkan bahwa bahkan dalam buku ini pun Smith juga menggunakan GTR.
Mengapa, tanya Adam Smith (1976 [1776]: Buku 1, Bab10), apakah kita mengganggap normal bila algojo digaji tinggi? Kualifikasi-kualifikasinya toh rendah. Pekerjaanya hanya mensyaratkan satu tingkat latihan dan kompetensi yang rendah, dan pekerjaannya itu badalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan, maka seharusnya diberi kompensasi dengan gaji yang tinggi. Alasan-alasan lain menjustifikasi fakta bahwa dokter-dokter juga dibayar tinggi: pekerjaan mereka menggiurkan dan menghasilkan banyak uang. Mereka mendapat kepuasan dalam melakukan pekerjaan. Akan tetapi, karena pekerjaan itu melibatkan satu tingkat tanggung jawab, stres, dan kegelisahan yang tinggi serta rentan terhadap kritikan orang bila pengobatan yang mereka rekomendasikan gagal, maka mereka juga harus diberi kompensasi atas aspek-aspek negatif pekerjaanya itu berupa satu pendapatan layak yang agak tinggi., Pekerjaan-pekerjaan lainn menuntut kualifikasi-kualifikasi yang lebih rendah, tidak terlalu tak-menyenangkan, dan hanya menuntut tingkat tanggung jawab yang tak terlalu tinggi. Dalam kaus-kasus ini, gaji yang rendah bisa dibenarkan. Dengan kata lain, dalam pembahasan-pembaasannya tentang gaji, Smith berangkat dari ide bahwa gaji-gaji yang merupakan imbalan atas berbagai tipe aktivitas biasanya orang anggap cukup adil. Kedua, rasa keadilan ini didiktekan oleh suatu sistem alasan-alasan yang relatif implisit yang sedikit banyak dipahami oleh semua orang. Ketiga, alasan-alasan ini berkaitan dengan sejumlah dimensi satu pekerjaan tertentu, dan terakhir, mengingat karakterisasi suatu pekerjaan dalam kaitannya dengan dimensi-dimensi iini, maka borang pada umumnya berkesimpulan bahwa pekerjaan-pekerjaan tertentu harus dibayar tinggi. Menggunakan sebuah konsep dariTheoryof Moral Sentiments-nya Smith, konsensus relatif yang muncul dalam kaiotannya dengan pertanyaan tentang apakah suatu pekerjaan seharusnya dibayar lebih tinggi dari pekerjaan-pekerjaan lainnya berasal dari serangkaian alasan yang dikembangkan oleh “penonton-penonton” yang tak memihak (importialspectators),” oleh individu-indivig mencoba memahami sistem-sistem alasan-alasan yang akan bisa diterima oleh semua orang.
Pertama-tama analisis Smith tidak menggunakan TPR. Orang tidak bereaksi sebagaimana yang mereka lakukan ketika mereka belajar bahwa beberapa tipe pekerjaan tertenrtu dibayar sedemikian karena pekerjaan itu akan memaksimalkan perbedaan-perbedaan tertentu  antara keuntungan dan biaya-biaya. Mereka punya alasan untuk meyakini apa yang mereka yakini, tetapi alsan-alasan ini bukanlah tipe biaya-keuntungan, bahkan bukan pula tipe konsekuensinya. Argumen Smith justru mengambil bentuk berupa suatu deduksi dari sejumlah nprinsip. Menurut Smith, orang merasa bahwa membayar para pekerja tambang dan algojo dengan bayaran yang tinggi adalah salah satu hal yang adil berdasarkan alsan-alasan mendasar yang diambil dari prinsi-prinsip tertentu. Jikia para pekerja tambang dibayar dengan gaji yang tidak lebih tinggi dari, misalnya, pegawai-pegawai kantoran rendahan, hal ini mungkin akan menimbulkan sejumlah konsekuensi (seperti mogok kerja pekerja tambang, kataknalh), tetapi konsekuensi-konsekuensi aktif ini bukanlah penyebab dari fakta bahwa kebanyakan orang beranggapan bahwa pekerja tambang harus dibayar lebih banyak. Orang tidak percaya pada pernyataan ini hanya karena mereka takut akan akibat-akibat akhir tersebut.
Michael Walzer, seorang teorisi kontemporer di bidang etika, mengajukan sejumlah analisis tentang sebagian sentimen-sentimen moral kita, mirip dengan yang dilakukan Smith (Walzer 1983). Kita beranggapan bahwa konskripsi (biasa dikenal sdengan istilah lain ‘wajib militer’ karena hanya berlaku untuk militer/tentara-pen) adalah suatu metode rektumen yang sah dan tak melanggar hukum kalau merngakut pertentaraan dan militer: hal yang sama tidak berlaku untuk rekrytmen pekerja tambang, misalnya, karena fungsi tentara-bukan fungsi pekerja tambang-sangatlah vital untuk kalangan pekerja tambang (dalam arti bahwa setiap warga negara bisa dikenal kewajiban untuk menjadi pekerja tambvang-pen), maka hal yang sama tentunya bisa juga diterapkankepada setiap, dan pada akhirnya semua, jenis aktivitas apa pun, hingga lahirlah sebuah rezim yang tak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dengan cara yang sama, orang dengan mudh menerima bahwa tentara dipekerjakan sebagai pengumpul sampah dalam situasi-situasi darurat, seperti dalam situasi pasca-bencana alam, misalnya. Akan ytetapi, akan dianggap tak lumrah atau bahkan tidak sah bila mereka digunakan untuk tugas-tugas semacam itu dalam situasi-situasi didasarkan pada alasan-alasan yang cenderung diyakini bersama oleh banyak orang, bukan pada alasan-alasan darin tipe yang dibicarakan dalam TPR.
Pandangan-pandangan sepertri keadilan (fairness) tentu saja bisa dipengaruhi oleh parameter-parameter kontekstual. Jad, dalam permainan ultimatum seperti tersebut di atas, usulan 50/50 lebih sering ditemui di masyarakat-masyarakat di mana kerja sama dengan tetangga seseorang sangat esensial sifatnya bagi aktivitas ekonomi yang sedang berjaqlan ketimbang di dalam masyarakat-masyarakat di mana kompetisi atau persaingan antartetangga berkembang pesat (Henrichetal. 2001). Meski demikian, temuan-temuan semacam itu tidak cocok dengan interpretasi rasional tentang keyakinan-keyakinan moral tentunya. Temuan-temuan itu justru menunjukkan bahwa suatu sistem yang terdiri dari  sejumlah alasan adalah lebih miudah dipahami konteks-konteks tertentu dibandingkan dengan dalam konteks-konteks lainnya. Ringkasnya, meskipun variasi konteksual dalam hal keyakinan-keyakinan moral pada umumnya diinterpretasikan sebagai sesuatu yang memvalidasi satu pandangan kultural-kultural tentang perasaan-perasaan aksiologis, paradigma konteksual-konteksual yang digambarkan oleh  contoh-contoh di atas tampaknya lebih memuaskan; karena menawarkan penjelasan-penjelasan yang memadai, yaitu penjelasan-penjelasan tanpa kotak-kotak hitam.

2.6. Prestasi Prestasi TPR
Tak diragukan lagi TPR telah berhasil menginspirasi penjelasan-penjelasan yang meyakinkan atas berbagai fenomena sosial yang membingungkan.  Kekuatan ilmiahnya bahkan sudah ditemukan sebelum ia diberi nama. Karya Alexis deTocqueville menggambarkan hal ini. Beberapa analisisnya menggunakan apa yang kemudian disebut TPR dalam penjelasannya tentang relative stagnannya pertanian Prancis di akhir abad kedelapan belas bila dibandingkan dengan pertanian Inggris (Tocqueville 1986 [1856]). “Sentralisasi pemerintahan” yang menjadi ciri Perancis abad kedelapan belas adalah penyebab dari fakta bahwa ada banyak jabatan tersedia bagi pegawai-pegawai negeri di Perancis saat itu, mengingat pentingnya Negara pusat, sehingga mereka pun lebih prestisius ketimbang di Inggris. Kedua faktor ini memicu naiknya tingkat absentisme tuan tanah di sana, jauh lebih tinggi daripada yang terjadi di Inggris. Tuan-tuan tanah kaya di Prancis lebih suka membeli surat pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil dan meninggalkan tanah-tanah mereka. Oleh Karena itu, petani-petani yang menyewa tanah mereka tidak memiliki kemampuan untuk berinovasi seperti halnya para pemilik tanah itu, tingkat inovasi pertanian di Perancis lebih rendah dari tingkat inovasi pertanian di Inggris. Sebaliknya, di Inggris, para pemilik tanah justru lebih berminat untuk tampil sebagai inovator. Jika mereka ingin terpilih untuk menduduki  kursi di Westminster, mereka memahami bahwa mereka harus tampil di hadapan para pemilih setempat agar bisa memperbaiki kehidupan sehari-hari mereka, terutama dengan mengintrodusir inovasi-inovasi yang memiliki dampak- dampak positif bagi semua orang. Terakhir, Tocqueville berhasil menjelaskan perbedaan makrokospik yang membinggungkan pada alur modernisasi pertanian antara Perancis dan Inggris pada akhir abad kedelapan belas sebagai dampak dari tindakan-tindakan  rasional individu. Konteks Perancis membuat pemilik tanah memperoleh suatu keuntungan dalam hal kekuasaan, Pengaruh,prestise, dan bahkan pendapatan dengan menjadi seorang pegawai negeri. Konteks Inggris berarti bahwa pemilik tanah agak terdorong untuk mengurusi tanahnya dan tampil sebagai seorang inovator yang dinamis, bahkan dalam kasus di mana dia memiliki ambisi- ambisi politik yang lebih besar sekalipun. Teori Tocqueville memberi kesan kemandirian, pertama-tama karena pernyataan-pernyataan empirisnya tampak kongruen dengan data observasional, dan kedua karena pernyataan-pernyataannya yang menjelaskan mengapa aktor-aktor berperilaku seperti itu adalah terbukti dengan sendirinya atau sudah sangat jelas (selfevident), bukan dalam pengertian yang logis melainkan dalam pengertian psikologis.
Pertanyaan makrokospik kedua yang  tak kalah membi-ngungkan berkaitan dengan salah satu peristiwa yang paling mengesankan di bad kedua puluh memberikan satu ilustrasi kedua tentang kekuatan dari TPR. Mengapa Perang Dingin berlangsung hinga beberapa dasawarsa dan kemudian berakhir dengan tiba-tiba? Mengapa imperium Soviet runth secara tiba-tiba pada 1990-an dan bukan 20 tahun sebelum atau sesudahnya? Sebab-sebab umum seperti rendahnya efisiensi ekonomi yang ada pada sistem dan pelanggaran hak-hak asasi manusia  tidak bisa menjelaskan mengapa Soviet runtuh pada saat itu atau mengapa ia runtuh dengan begitu tiba-tiba. TPR bisa membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, dunia Barat dan Uni Soviet terlibat dalam sebuah lomba persenjataan segera setelah berakhirnya Perang Dunia II. Kini perlombaan senjata itu memiliki satu struktur “dilema narapidana (prisoner’sdilemma (selanjutnya disingkat PD-pen.)). Jika saya (pemerintah AS) tidak meningkatkan potensi militer saya sementara orang lain (pemerintah Un Soviet) melakukannya, maka itu berarti saya menghadapi satu resiko kematian. Jadi saya harus meningkatkan potensi militer sya, meskipun, sebagai pemerintah, saya akan lebih suka mengeluarkan sedikit saja uang untuk persenjataan dan lebih banyak uang untuk, katakanlah, sekolah-sekolah, rumah sakit, atau kesejahteraan, karena itu semua akan lebih dihargai oleh para pemilih. Dalam situasi ini, menambah jumlah persenjataan adalah satu strategi yang doniman, kendati hasilnya tidak akan optimal. ASdan Uni Soviet memainkan permainan ini selama berpuluh-puluh tahun dan menimbun begitu banyak senjata nuklir yang adalah bahwa pertandingan PD yang menjadi ciri hubungan-hubungan antara AS dan Uni Soviet tiba-tiba dihancurkan oleh manuver Reagan. Dalam kasus ini, sebuah pendekatan TPR membantu mengidentifikasi salah satu penyebab utama dari suatu fenomena sejarah makrokospik yang besar. Pendekatan TPR memberikan penjelasan tentang bagaimana MikhailGorbachev melakukan satu gerakan yang akan berakibat fatal bagi Uni Soviet , dan mengapa Uni Soviet runtuh pada titik waktu itu. Dalam kasus ini, kita mendapat penjelasan tanpa kotak-kotak hitam tentang mengapa perlombaan senjata yang “bodoh”itu dilakukan pada awalnya, dan mengapa  perlombaan senjata itu tiba-tiba berhenti pada satu titik waktu tertentu, meninggalkan salah satu protagonisnya dalam keadaan kalah. Penjelasan itu berhasil karena postulat-postulat TPR, meski reduksionis, adalah bukannya tak realistis : memang benar bahwa pemerintah mana pun harus bersikap “egoistis,” yaitu bahwa ia harus mengurusi dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan bangsanya sendiri.
Tampaknya akan mudah menyebutkan banyak karya modern yang meminjam nilai ilmiahnya dari fakta bahwa karya-karya itu menggunakan model TPR. Orang bisa berfikir tentang karya-karya para ekonom dan sejumlah sosiolog, seperti MancurOlson (1965), Anthony Oberschall (1973), Samuel Popkin (1979), James Coleman (1990), Timur Kuran (1995), dan Russell Hardin (1995),  di antara banyak lagi pakar yang lain, tetapi juga karya-karya sejerawan, seperti H.I. Root(1994), atau ilmuwan-ilmuwan politik seperti B.Rothstein (2001). Jadi,tak diragukan lagi bahwa TPR telah menghasilkan banyak kontribusi yang betul-betul ilmiah. Hal ini menjelaskan mengapa, meski banyak dikritik oleh banyak sosiolog, TPR juga sangat mapan dan matang,seperti dapat dilihat dari jumlah pembaca jurnal ciptaan Coleman,RationalityandSoecity.

2.7. TPR Dipertahankan Sebagai Sebuah Teori Umum
Jadi, TPR adalah suatu teori yang kuat. Akan tetapi, tampaknya teori ini juga tak berdaya ketika dihadapkan pada banyak fenomena sosial. Kita bisa membuat satu daftar yang mengesankan yang berisi fenomena-fenomena yang kita temui sehari-hari yang tidak bisa dijelaskan oleh TPR. Perpaduan antara keberhasilan dan kegagalan ini layak digarisbawahi karena komunitas ilmu pengetahuan sosial tampaknya terbelah menjadi dua kubu, yaitu kelompok yang menanggap TPR sebagai kitab suci baru dan kelompok orng-orang yang tidak percaya pada kitab suci yang satu ini. Selain itu, campuran keberhasilan dan kegagalan ini menimbulkan satu pertanyaan penting seputar penyebab-penyebabnya.
Dua contoh berikut akan menggambarkan satu poin bahwa TPR tampak tak berdaya ketika dihadapkan pada fenomena sosial yang penting. Pengaruh dari suatu suara tunggal pada hasil pemilu mana pun adalah sangat kecil, sehingga menurut TPR aktor-aktor rasional seharusnya menghindari pemungutan suara, karena pelaksanaan pemungutan suara bukannya tidak makan biaya. Sebagai salah satu dari pemilik ini, saya seharusnya lebih suka beristirahat, berjalan-jalan, menulis satu artikel, atau mengoperasikan vacuumcleanersaya ketimbang memberikan suara. Toh, seperti yang dilakukan oleh banyak orang, saya tetap memberikan suara saya. Jadi,tampaknya TPR tak mampu menjelaskan mengapa banyak orang memberikan hak suaranya.
Banyak “solusi”tentative sudah disodorkan untuk paradoks ini. Orang senang memberikan hak suaranya, kata sebuah teori. Orang akan sangat menyesal bila tak menggunakan hak suara mereka karena hal itu bisa membuat satu perbedaan sehingga mereka pun memberikan hak suaranya bahkan sekalipun mereka tahu bahwa kemungkinan hal ini terjadi sangat kecil, kata teori yang lain (Ferejohn dan Fionira 1974). Jika saya tidak memilih, saya akan menghadapi resiko kehilangan reputasi saya (Overbye 1995). Kadang-kadang, TPR dibuat menjadi lebih fleksibel berkat adanya pandangan tentang “kerangka-kerangka kognitif”. Begitulah, G.A.Quattrone dan Amor Tversky (1987) berpendapat bahwa seorang pemilih memberikan hak suaranya karena ia memandang motivasinya untuk memilih sebagai satu tanda bahwa partainya akan menang. Akan tetapi, “kerangka” semacam itu tidak hanya tampak khusus untuk sesuatu maksud (ad hoc), tetapi juga menghadirkan suatu kotak hitam. A.A Schuessler (2000) berpendapat bahwa para pemilih memiliki kepentingan ekspresif alih-alih instrumental dalam menggunakan hak suaranya. Tak satu pun di antara “solusi-solusi”ini diterima secara luas. Beberapa di antaranya, seperti solusi yang diajukan oleh F.J. Ferejohn dan oleh M. Fiorina, memperlihatkan  suatu kemampuan intelektual yang tiggi. Toh, mereka tetap tidak bisa menghapus “paradoks”itu.
Selain pemunggutan suara, ada “paradoks-paradoks”klasik lainnya yang bisa disebutkan di sini. “Paradoks-paradoks” Maurice Allais menunjukkan bahwa, ketika berhadapan dengan lotere, dalam banyak situasi orang tidak menentukan pilihnnya sesuai dengan prinsip memaksimalkan manfaat atau keuntungan yang diharapkan (Allais dan Hagen 1979 ; Hagen 1995). Bruno Frey (1997) sudah menunjukkan bahwa orang kadang-kadang  lebih mudah menerima ketidksepakatan tertentu bila tidak ada kompensasi ditawarkan kepadanya dibandingkan bila ada sejumlah kompensasi yang ditawarkan atau diberikan. Jadi, dalam suatu kajian, orang justru lebih mudah menerima kehadiran limbah nuklir di tanah kota merekaketika mereka tidak ditawari kompensasi, dan bukan sebaliknya.
Sosiologi telah menghasilkan banyak penelitian, yang bisa dibaca sebagai tantangan bagi TPR. Jadi, reaksi negatif subjek-subjek sosial terhadap situasi tertentu dalam banyak kasus tidak ada hubungannya dengan biaya-biaya yang harus dihhadapi atau dibayar oleh subjek-subjek ini karena adanya situasi tersebut. Di sisi lain, tindkan-tindakan bisa sering diamati, sesuatu yang tidak ada untungnya, atau bahkan negatif, bagi aktor.  Dalam bukunya WhiteCollar, C. WrightMills (1951) mengidentifikasi sesuatu yang bisa disebut “paradoks reaksi yang berlebihan (overreactionparadox)”. Dia menggambarkan perempuan-perempuan pegawai yang sedang bekerja di suatu perusahaan  di mana mereka semua melakukan tugas-tugas yang sama, duduk di satu ruangan besar, masing-masing memiliki meja yang sama, dan lingkungan kerja yang sama. Konflik-konflik keras terjadi hanya karena soal-soal sepele, seperti misalnya karena ditempatkan lebih dekat dengan sumber api atau cahaya. Seseorang yang mengamatinya dari luar biasanya akan menganggap  konflik semacam itu irasional. Oleh karena itu, perilaku perempuan perempuan itu akan tampak aneh baginya dalam pengertian model TPR, pengamat ini akan beralih ke sebuah interpretasi irasional seperti perilaku kekanakan. Dengan demikian, pengamat ini akan mengakui bahwa TPR tidak bisa dengan mudah menjelaskan paradoks reaksi yang berlebihan yang diamatinya itu.
Kalangan psikolog telah menghasilkan banyak eksperimen,termasuk “permainan ultimatum (ultimatum game)” yang klasik itu (Hoffman dan Spitzer 1985; Wilson 1993: 62-63), yang menolak TPR. Dalam permainan ini, pemainan A boleh mengusulkan bagaimana sejumlah tertentu uang harus dibagi antara dirinya dan B. B hanya bisa menerima atauu menolak usulan A. Jika ia menolak, A dan B tidak akan mendapat apa-apa. Jika B menerima, dia mendapat sejumlah uang yang diusulkan oleh A. TPR meramalkan bahwa A akan mengusulkan, katakanlah, “80 persen dari total jumlah uang ini untukku, 20 persennya untuk B”. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus, A justru mengusulkan pembagian 50/50. Yang cukup menarik, para peneliti dari Zurich telah menunjukkan bahwa,  berlawanan dengan TPR, subjek B normalnya akan menolak pembagian seperti “80 persen untuk A, 20 persen untuk B”, sementara ketika beberapa bagian tertentu dalam otaknya dinonaktifkan melalui stimulasi magnetic, akan menerimanya (Henderson 2006). Kasus-kasus ini menjadi berita pahit bagi TPR, karena orang berperilaku sesuai dengan prediksi-pediksinya dalam permainan ultimatum ketika cara kerja dari otaknya yang normal diubah.
Banyak penelitian yang akrab dengan kehidupan kita sehari-hari tidak bisa ditafsirkan secara memuaskan dalam kerangka-kerja TPR. Dalam kondisi-kondisi yang berlaku luas di kebanyakan Negara barat, korupsi secara politik tidak berdampak nyata bagi orang biasa: orang tidak melihat ataupun merasakan dampak- dampaknya.  Meski demikian, dia menganggap korupsi sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima. Plagiarisme justru bisa menguntungkan kepentingan orang yang dijiplak karyanya, karena plagiarisme menarik perhatian publik pada si pengarang asli. Meski demikian, plagiarisme dikecam keras. Atas sejumlah persoalan tertentu, seperti hukuman mati, misalnya, saya bisa memiliki perasaan-perasaan yang kuat, bahkan sekalipun kemungkinan bahwa saya secara personal memilki perhatian penuh hal itu tidak ada sama sekali. Dengan kata lain, dalam banyak situasi, orang dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan yang takada hubungannya dengan kepentingan-kepentingan atau minat-minatnya sendiri maupun dengan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin  ditimbulkan oleh tindakan-tindakan atau reaksi-reaksi mereka.

2.8. Prinsip-Prinsip Teori Pilihan Rasional.
Prinsip - prinsip yang mendasari teori pilihan rasional dapat diringkas dalam tiga pemyataan berikut ini:
1) menjelaskan suatu fenomena sosial berarti menjadikannya sebagai akibat atau konsekuensi
dari seperangkat pernyataan yang harus bisa diterima sepenuhnya dengan mudah;
2) teori sosiologi yang baik adalah suatu teori yang menafsirkan segala fenomena sosial
sebagai hasil dari tindakan-tindakan individu; dan
3) Tindakan-tindakan harus dianalisis sebagai (tindakan) yang "rasional.” M. Hollis (1977)
menyatakannya sebagai berikut: "tindakan rasional adalah penjelasannya sendiri". James
Coleman (1986: 1) beranjak lebih jauh, dan menyatakan bahwa suatu tindakan bisa dianggap
”dijelaskan” jika dan hanya jika tindakan itu diperlakukan sebagai (tindakan yang) "rasional":
Jadi, "tindakan-tindakan rasional individu memiliki suatu daya tarik yang unik sebagai dasar
bagi teori sosial. Jika suatu lembaga atau suatu proses sosial bisa dijelaskan sebagai tindakan
tindakan rasional yang dilakukan oleh individu-individu, selanjutnya dan hanya pada kasus
tersebut kita bisa mengatakan bahwa lembaga atau proses sosial itu sudah dijelaskan”.

2.9. Alasan-Alasan atas Kekurangan-Kekurangan TPR
Fenomena-fenomena sosial yang terbukti tidak bisa dijelaskan oleh TPR memiliki banyak fitur yang sama. Tiga tipe fenomena yang lolos dari yurisdiksi TPR dapat diidentifikasi sebagai berikut.
Sebagai perilaku apapun pasti melibatkan keyakinan-keyakinan. Untuk memaksimalkan peluang saya untuk bisa terus bertahan hidup, saya akan melihat sekitar saya sebelum menyebrang jalan. Perilaku ini didiktekan oleh keyakinan saya bahwa, kalau saya tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, saya sedasng mengambil resiko yang serius.Dalam kasus semacam itu Keyakinan yang terlibat sangatlah lumrah dan jamak. Seorang analis tidak perlu melihatnya lebih dekat bahkan sekilas pun. Akan tetapi, untuk menjelaskan item-item perilaku lainnya, sangat penting bagi kita untuk menjelaskan keyakinan-keyakinan yang mendasarinya. Nah, di sini TPR tidak punya apa-apa untuk disampaikan pada kita sehubungan dengan keyakinan-keyakinan itu. Jadi, tipe fenomena pertama yang resisten terhadap TPR termasuk hal-hal yang bercirikan fakta bahwa aktor-aktor mendasarkan pilihan-pilihan mereka pada keyakinan-keyakinan yang tak lumrah.
Kita bisa berdalil bahwa seorang aktor dapat berpegang pada satu keyakinan tertentu karena dia mendukung suatu teori tentang mana keyakinan adalah sebuah konsekuensi, dan bahwa mendukung suatu teori tentang mana keyakinan adalah suatu tindakan yang rasional. Akan tetapi, di sini, rasionalitasnya bersifat kognitif, bukan instumental: rasionalitas ini terkandung dalam kesukaan memilih teori yang memungkinkan sosiolog menjelaskan fenomena-fenomena tertentu dengan cara yang paling memuaskan ( sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu). Jadi, TPR mengalami kesulitan karena ia mereduksi rasionalitas itu menjadi raeasionalitas instrumental. Para pengikut TPR sudah mengembangkan satu jawaban yang menarik terhadap keberatan dan penolakan ini. Gerard Radnitzky (1987) berpendapat bahwa mendukung suatu teori adalah hasil dari suatu analisis biaya-keuntungan atau untung-rugi. Jadi, menurut Radnitzky, seorang ilmuwan berhenti meyakini suatu teori ketika keberatan-keberatan yang diajukan terhadap teori itu, itu membuatnya merasa bahwa mempetahankan atau membela teori itu akal terlalu “mahal” . Memang sulit menjelaskan mengapa suatu lambung kapal lenyap dari cakrawala lebih dulu sebelum tiangnya, mengapa bulan berbentuk sabit, mengapa seorang navigator yang terus mempertahankan arah yang sama kembali ke titik keberangkatannya jika kita menerima teori bahwa bumi itu datar.
Akan tetapi, apa yang kita dapat dengan mengganti kata “sulit” dengan kata “mahal” ? Mempertahankan suatu teori tertentu lebih “mahal” karena memang lebih sulit. Kita harus kemudian menjelaskan mengapa demikian dan dari rasionalitas instumental kita kembali ke rasionalitas kognitif. Kita lebih suka teori Torricelli-Pascal tidak begitu mahal untuk dipertahankan. Akan tetapi, itu tidak terlalu mahal karena, pertama , teori itu tidak mengandung ide antropomorfik yang meragukan bahwa alam tidak akan menyukai kekosongan, dan, kedua, teori itu memprediksi dengan tepat mengapa air raksa dalam sebuah barometer naik lebih tinggi di kaki gunung dibandingkan dengan puncak gunung.Sepanjang kita belum mwngwnali perbedaan-perbedaan ini, kita tidak dapat menjelaskan mengapa mempertahankan teori Aristotelian itu lebih mahal.
TPR tak berdaya menghadapi kategori fenomena yang kedua: fenomena-fenomena yang bercirikan fakta bahwa aktor-aktor mengikuti keyakinan-keyakinan preskriptif yang nonkonsekuensialis. TPR nyaman bersama dengan keyakinan-keyakinan preskriptif sepanjang keyakinan-keyakinan itu konsekuensial. TPR eengan sangat mudah menjelaskan mengapa kebanyakan orang percaya bahwa lampu-lampu pengatur semacam itu menimbulkan ketidaknyamanan, saya menerimanya karena lampu-lampuitu memiliki konsekuensi-konsekuensi yang saya nilai menguntungkan. Di sini, TPR secara efektif menjelaskan keduanya yaitu keyakinan dan reaksi yang ditimbulkan oleh keyakinan itu. Akan tetapi, TPR menjadi bisu ketika sampai pada keyakinan-keyakinan normatif yang belum bisa dijelaskan dalam terma-terma istilah-istilah konsekuensialis (Boudon 2001,2004). Subjek dalam satu “permainan ultimatum” berindak bertentangan dengan kepentingan-kepentingannya sendiri. Para pemilih mnggunakan hak pilihnya, bahkan sekalipun mereka tahu bhwa suara mereka tidak akan mempengaruhi hasil pemilihan umum. Warga negara sangatb keras mengecam dan menentang korupsi, meski korupsi itu tidak memengaruhinya secara personal. Penjiplak menimbulkan perasaan jijik dan tak hormat, meski ia tidak melukai siapa pun. Kita menyalahkan penipu, meskipun intrik-intriknya tidak menimbulkan masalah bagi orang lain selain dirinya sendiri.
TPR tak berdaya menghadapi kategori fenomena yang ketiga, yang melibatkan perilaku individu-individu yang tidak bisa kita asumsikan sebagai perilaku yang ditentukan oleh kepentingan-diri-sendiri. Di mana pun drama Antigone-nyaSophocles dimainkan, penonton drama tragedi itu tak segan-segan mengecam Creon dan mendukung Antigone. Alasan mengapa TPR tidak mampu menjelaskan reaksi universal inio adalah sederhana saja: kepentingan-kepentingan penonton sama sekali tidak terkait dengan hal yang sedang mereka tonton. Dengan demikian kita tidak bisa menjelaskan reaksi mereka melalui konsekuensi-konsekuensi yang tidak bisa menjelaskan reaksi mereka melalui konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh drama tragedi terhadap mereka, tidak ada konsekuensi-konsekuensi semacam itu. Penonton tidak terlibat secara langsung dengan nasib Thebes, karena nasib itu menjadi milik masa lalu dan tak seorang pun bisa mengendalikannya lagi. Dalam kasus ini konsekuensionalisme dan postuat-postulat kepentingan-diri-sendiri berdasarkan fakta dengan sendirinya menjadi gugur.
Para sosiolog kerap menemukan diri mereka sendiri menghadapi fenomena semacam ini, karena aktor-aktor sosial tetap dan teratur diminta mengevaluasi situasi-situasi di mana mereka tidak terlibat secara personal. Hukuman mati tidak mengancam keluarga maupun teman-teman mereka. Toh, tetap saja banyak di antara mereka memilliki pendapat-pendapat yang kuat terhadap masalah itu. Bagaimana serangkaian yang berasumsi bahwa mereka adalah subjek-subjek yang mempunyai kepentingan bisa menjelaskan reaksi-reaksi mereka dalam situasi-situasi di mana kepentingan-kepentingan mereka tidak terlibat dan tidak ada peluang bagi mereka dan kepentingan-kepentingan mereka uintuk bisa terlibat sama sekali?  Pernyataan-pernyataan ini membawa kita pada suatu kesimpulan yang krusial bagi ilmu-ilmu pengetahuan sosial sebagai satu keseluruhan, yaitu bahwa TPR tidak memiliki sedikit hal yang bisa diberitahukannya pada kita tentang pendapat umum, sebuah pokok bahasan yang besar dan penting bagi para sosiolog.
Ringkasnya, TPR tak berdaya ketika sampai pada fenomena-fenomena yang melibatkan keyakinan-keyakinan prespiktifnonkonsekuensialis, dan/ atau yang mengikutserakan reaksi-reaksi yang, karena sifat asli dari suatu hal, tidak berasal dari pertimbangan yang didasarkan pada kepentingan pribadi apa pun.

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan.
Penjelasan Boudon (2009) mengenai Teori Pilihan Rasional yang secara teoritik bisa sangat kuat namun sangat lemah saat menjelaskan fenomena sosial mungkin bisa dijadikan kalimat yang penting dalam menyimpulkan teori ini. Peran emosi yang terabaikan dalam teori pilihan rasional menjadi salah satu alasan mendasar teori ini tidak cukup mampu dalam menjelaskan berbagai fenomena sosial.
Namun demikian, beberapa fenomena politik, ekonomi, dan moral juga berhasil dijelaskan dengan baik menggunakan teori pilihan rasional.Dengan demikian penggunaan teori ini sebagai dasar untuk menganalisa perilaku sosial perlu sangat hati-hati. Terlebih jika kita memperhatikan prinsip dari teori ini yang mengharuskan tiap pilihan dipresentasikan secara setara atau sama. Asumsi ini justru menjadi ganjalan terbesar aplikasi teori pilihan rasional karena hampir tidak ada kondisidimana pilihan-pilihan tersebut benar-benar disajikan kepada calon pemilih secara setara.
Akan tetapi apresiasi yang besar tetap perlu diberikan kepada perkembangan teori ini sebagaimana yang pernah dilakukan APA pada tahun 1983 kepada artikel yang dituliskan oleh Kahneman&Tversky tentang pilihan rasional. Penghargaan ini diberikan karena artikel tersebut telah banyak menginspirasi para pengambil kebijakan dalam berbagai bidang, terutama ekonomi. Berdasarkan artikel tersebut, banyak strategi pemasaran dilakukan yang mendasarkan pada kajian teori pilihan rasional.
Perkembangan teori ini ke depan bisa jadi sangat potensial jika teori ini juga mengkolaborasikan emosi sebagai salah satu aspeknya. Untuk sampai pada tahap ini tentunya pada ilmuan harus membangun asumsi bahwa emosi merupakan akibat dari rasionalitas seseorang. Hal ini bukan tidak mungkin karena saat ini sudah munculpenelitian yang mencoba membangun hubungan antara penalaran dengan emosi pada diri individu walaupun masih penuh perdebatan mengenai emosi sebagai pemicu penalaran atau penalaran sebagai pemicu emosi.

Teori Pilihan Rasional

MAKALAH TEORI-TEORI ILMU POLITIK “TEORI PILIHAN RASIONAL” DI SUSUN OLEH :EKA APRIANTI (1730702062) DOSEN PEMBIMBING : ALVA ...