MAKALAH TEORI-TEORI ILMU POLITIK
“TEORI PILIHAN RASIONAL”
DI SUSUN OLEH :EKA APRIANTI
(1730702062)
DOSEN PEMBIMBING : ALVA
BERLIANSYAH,S.IP,M.IP
JURUSAN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2018
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan
sanggup menyelesaikannya dengan baik., Shalawat dan salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah
ini di susun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Teori Pilihan
Rasional”, yang kami sajikan berdasarkan dari berbagai sumber. Makalah ini
disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama ī dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah
ini memuat tentang “teori pilihan rasional” pemikiran untuk memahami dan merancang model perilaku sosial dan ekonomi, Asumsi
dasar teori pilihan rasional adalah seluruh perilaku sosial disebabkan oleh
perilaku individu yang masing-masing membuat keputusannya sendiri. Teori ini
berfokus pada penentu pilihan individu.(individualisme metodologis). Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas
kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
Penyusun membutuhkan kritik dan saran dari pembaca. Terimakasih.
Palembang, Juni 2018
Penyusun
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Herfeld dalam laman Max
PlanckInstitute, sebuah lembaga riset terkemuka di dunia di Jerman, menjelaskan
bahwa konsep pilihan rasional awalnya dikembangkan di masa-masa awal perang
dingin setelah berakhirnya perang dunia II. Konsep tentang pilihan menarik
minat peneliti dari berbagai disiplin ilmu, diantaranya filsafat, matematika,
statistik, dan ilmu komputer. Umumnya para peneliti berusaha membuat logaritma
bagaimana proses memilih dalam diri seseorang. Herfeld menjelaskan bahwa Teori
Pilihan Rasional kemudian dianggap sebagai konsep Psikologi yang mencoba
memahami karakter individu dalam pilihan yang akhirnya dapat meramalkan
perilaku seseorang. Walaupun demikian, teori ini juga dikritik bahwa perilaku
manusia tidak sekedar sebagaimana diramalkan oleh komputasi rasional. Terutama
jika dihadapkan pada pilihan yang kompleks, maka peramalan terhadap pilihan
seseorang menjadi lebih rumit dari sekedar rumus komputasi tertentu. Salah
seorang tokoh yang dianggap sebagai pendiri konsep pilihan rasional adalah John
vonNeumann, seorang ilmuwan matematika. Neumann (1959) membangun konsepnya
dengan TheoryofGameofStrategydengan
pertanyaan yang akan dijawab adalah “Jika sejumlah (n) pemain diberikan
permainan strategy, berapa kali tiap pemain harus memainkan permainan tersebut
dalam rangka mencapai hasil yang paling menguntungkan. Neumann berkeyakinan
bahwa konsep permainan strategi tersebut merupakan konsep yang juga tergambar
dalam kehidupan sehari-hari dimana setiap orang akan berhadapan dengan orang
lain sebagai kompetitor dan berusaha mendapatkan hasil maksimal dari persaingan
tersebut. Dalam artikel tersebut Neumann berhasil membuat persamaan matematika
untuk memprediksi jumlah permainan yang dibutuhkan seseorang untuk mendapatkan
hasil maksimal.
Namun demikian, dalam kesimpulannya, Neumann juga
menyampaikan bahwa dibutuhkan kajian tambahan dengan menggunakan pemain yang
lebih paham dengan permainan stategi yang dimaksud. Neumann ingin menekankan
bahwa situasi pilihan mungkin lebih kompleks jika pemain merupakan ahli dari
permainan tersebut. Dalam ilmu ekonomi dan filsafat moral, Adam Smith dianggap
orang yang mengenalkan konsep pilihan rasional (Scott, 2000; McFadden, 2013).
Adam Smith mengenalkan konsep Theoryof Moral Sentimen
yang terbit pertama kali pada 1759 dirujuk puluhan ribu kali dalam berbagai artikel
ilmiah. Adapun konsep moral Smith menurut Camerer&Loewenstein (2005)
mengacu pada dua hal, yaitu passiondanimpartialspectator. Camerer&Loewenstein (2005) menjelaskan bahwa passion yang dimaksud oleh Smith adalah emosi dan dorongan,
seperti seks, rasa lapar, marah, takut, atau rasa sakit. Sedangkan impartialspectator adalah kemampuan individu untuk melihat
diri dan perilakunya dari perspektif orang luar. Bagi Smith, perilaku seseorang
didorong oleh passion dalam dirinya namun dapat dikalahkan jika
ia mampu melihat perilakunya dari perspektif orang luar (lihat Smith,
2010). Dalam konteks ekonomi, Smith mengatakan bahwa interaksi pasar/
pertukaran dalam pasar merupakan gabungan konsep kewajaran (fairness)
dan perilaku menolong (altruism) (Camerer&Loewenstein, 2005). Adapun konsep kewajaran muncul
akibat seseorang khawatir akan penilaian negatif dari impartialspectator,
misalnya kekhawatiran terhadap perpsepsi pembeli bahwa harga yang diberikan
terlalu mahal. Sedangkan dalam konteks altruism merupakan passion
dari interaksi di pasar dimana penjual berniat membantu pembeli dengan
menyediakan barang yang dibutuhkan. Sedangkan Scott (2000) menjelaskan bahwa
teori pilihan rasional dibangun oleh George Homans pada tahun 1961 yang
membangun kerangka berpikir dari exchangeteory yang
merupakan asumsi dasar dalam kajian behaviorisme dalam Psikologi. Hal ini
dikarenakan pilihan seseorang sangat bergantung pada konsep pertukaran (exchange) dimana seseorang melakukan
pilihan tertentu dikaitkan dengan apa yang akan didapatkannya dari lingkungan.
Namun pada akhirnya, konsep pilihan rasional menjadi sangat matematis hingga
akhirnya konsep ini berupaya diambil alih pada kajian ekonomi mikro. Bagi
Homans (1958) setiap perilaku sosial pada dasarnya adalah pertukaran sesuatu
yang bermanfaat bagi individu. Pertukaran tersebut menggambarkan empat hal,
yaitu: perilaku psikologis, ekonomi, dinamika pengaruh, dan struktur kelompok Namun demikian, dalam kesimpulannya, Neumann juga
menyampaikan bahwa dibutuhkan kajian tambahan dengan menggunakan pemain yang
lebih paham dengan permainan stategi yang dimaksud. Neumann ingin menekankan
bahwa situasi pilihan mungkin lebih kompleks jika pemain merupakan ahli dari
permainan tersebut. Dalam ilmu ekonomi dan filsafat moral, Adam Smith dianggap
orang yang mengenalkan konsep pilihan rasional (Scott, 2000; McFadden, 2013).
Adam Smith mengenalkan konsep Theoryof Moral Sentimen
yang terbit pertama kali pada 1759 dirujuk puluhan ribu kali dalam berbagai artikel
ilmiah. Adapun konsep moral Smith menurut Camerer&Loewenstein (2005)
mengacu pada dua hal, yaitu passiondanimpartialspectator. Camerer&Loewenstein (2005) menjelaskan bahwa passion yang dimaksud oleh Smith adalah emosi dan dorongan,
seperti seks, rasa lapar, marah, takut, atau rasa sakit. Sedangkan impartialspectator adalah kemampuan individu untuk melihat
diri dan perilakunya dari perspektif orang luar. Bagi Smith, perilaku seseorang
didorong oleh passion dalam dirinya namun dapat dikalahkan jika
ia mampu melihat perilakunya dari perspektif orang luar (lihat Smith,
2010). Dalam konteks ekonomi, Smith mengatakan bahwa interaksi pasar/
pertukaran dalam pasar merupakan gabungan konsep kewajaran (fairness)
dan perilaku menolong (altruism) (Camerer&Loewenstein, 2005). Adapun konsep kewajaran muncul
akibat seseorang khawatir akan penilaian negatif dari impartialspectator,
misalnya kekhawatiran terhadap perpsepsi pembeli bahwa harga yang diberikan
terlalu mahal. Sedangkan dalam konteks altruism merupakan passion
dari interaksi di pasar dimana penjual berniat membantu pembeli dengan
menyediakan barang yang dibutuhkan. Sedangkan Scott (2000) menjelaskan bahwa
teori pilihan rasional dibangun oleh George Homans pada tahun 1961 yang
membangun kerangka berpikir dari exchangeteory yang
merupakan asumsi dasar dalam kajian behaviorisme dalam Psikologi. Hal ini
dikarenakan pilihan seseorang sangat bergantung pada konsep pertukaran (exchange) dimana seseorang melakukan
pilihan tertentu dikaitkan dengan apa yang akan didapatkannya dari lingkungan.
Namun pada akhirnya, konsep pilihan rasional menjadi sangat matematis hingga
akhirnya konsep ini berupaya diambil alih pada kajian ekonomi mikro. Bagi
Homans (1958) setiap perilaku sosial pada dasarnya adalah pertukaran sesuatu
yang bermanfaat bagi individu. Pertukaran tersebut menggambarkan empat hal,
yaitu: perilaku psikologis, ekonomi, dinamika pengaruh, dan struktur kelompok.
Namun demikian, dalam
kesimpulannya, Neumann juga menyampaikan bahwa dibutuhkan kajian tambahan
dengan menggunakan pemain yang lebih paham dengan permainan stategi yang
dimaksud. Neumann ingin menekankan bahwa situasi pilihan mungkin lebih kompleks
jika pemain merupakan ahli dari permainan tersebut. Dalam ilmu ekonomi dan
filsafat moral, Adam Smith dianggap orang yang mengenalkan konsep pilihan
rasional (Scott, 2000; McFadden, 2013). Adam Smith mengenalkan konsep Theoryof Moral Sentimen yang terbit pertama kali pada 1759
dirujuk puluhan ribu kali dalam berbagai artikel ilmiah. Adapun konsep moral
Smith menurut Camerer&Loewenstein (2005) mengacu pada dua hal, yaitu passiondanimpartialspectator. Camerer&Loewenstein
(2005) menjelaskan bahwa passion yang dimaksud oleh
Smith adalah emosi dan dorongan, seperti seks, rasa lapar, marah, takut, atau
rasa sakit. Sedangkan impartialspectator adalah
kemampuan individu untuk melihat diri dan perilakunya dari perspektif orang
luar. Bagi Smith, perilaku seseorang didorong oleh passion
dalam dirinya namun dapat dikalahkan jika ia mampu melihat perilakunya dari perspektif
orang luar (lihat Smith, 2010). Dalam konteks ekonomi, Smith mengatakan bahwa
interaksi pasar/ pertukaran dalam pasar merupakan gabungan konsep kewajaran (fairness) dan perilaku menolong (altruism) (Camerer&Loewenstein, 2005). Adapun
konsep kewajaran muncul akibat seseorang khawatir akan penilaian negatif
dari impartialspectator, misalnya kekhawatiran terhadap
perpsepsi pembeli bahwa harga yang diberikan terlalu mahal. Sedangkan dalam
konteks altruism merupakan passion dari interaksi di
pasar dimana penjual berniat membantu pembeli dengan menyediakan barang yang
dibutuhkan. Sedangkan Scott (2000) menjelaskan bahwa teori pilihan rasional
dibangun oleh George Homans pada tahun 1961 yang membangun kerangka berpikir
dari exchangeteory yang merupakan asumsi dasar dalam
kajian behaviorisme dalam Psikologi. Hal ini dikarenakan pilihan seseorang
sangat bergantung pada konsep pertukaran (exchange) dimana seseorang melakukan pilihan tertentu dikaitkan dengan
apa yang akan didapatkannya dari lingkungan. Namun pada akhirnya, konsep
pilihan rasional menjadi sangat matematis hingga akhirnya konsep ini berupaya
diambil alih pada kajian ekonomi mikro. Bagi Homans (1958) setiap perilaku
sosial pada dasarnya adalah pertukaran sesuatu yang bermanfaat bagi individu.
Pertukaran tersebut menggambarkan empat hal, yaitu: perilaku psikologis,
ekonomi, dinamika pengaruh, dan struktur kelompok Hal ini mengacu pada kata
“rasional” yang seringkali digunakan oleh ilmuwan matematika sebagai perilaku
yang dapat dijelaskan dalam persamaan matematika. Terlepas dari perkembangan
teori pilihan rasional dan kritik yang menyertainya, maka konsep teori ini
beserta variasi teorinya, seperti: teori pilihan dll., tetap menarik untuk
dibahas terutama dalam memprediksikan perilaku dalam konteks sosial, terutama
dalam konteks masyarakat. Hal ini juga yang mendorong banyak ilmuan psikologi
politik tetap melakukan kajian menggunakan teori pilihan rasional ini. Selain
itu, kajian dari psikologi konsumen juga masih sangat membutuhkan teori ini
untuk memprediksi bagaimana respon pasar terhadap produk yang diluncurkannya.
1.2.
Rumusan
Masalah
A) Apa itu teori pilihan
rasionaal ?
B) Bagaimana konsep teori
pilihan rasional ?
C) Apa itu postulat-postulat
teori pilihan rasional ?
D) Apa maksud dari rasional
kognitif ?
E) Bagaimana prestasi-prestasi
teori pilihan rasional ?
F) Bagaimana teori pilihan
rasional dipergunakan sebagai sebuah teori umum ?
G) Apa saja prinsip-prinsip
teori pilihan rasional ?
H) Apa saja alasan-alasan atas
kekurangan-kekurangan teori pilihan rasional ?
1.3.
Tujuaan
Untuk bisa memberikan ilmu
mengenai politik dengan materi teori pilihan rasional serta mampu memahami dan
bisa implementasi dalam menerapkan ilmu ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 PengertianTeori pilihan rasional
'Teori
pilihan rasional, kadang disebut teori pilihan atau teori tindakan rasional, adalah
kerangka pemikiran untuk memahami dan merancang model perilaku sosial dan ekonomi. Asumsi dasar
teori pilihan rasional adalah seluruh perilaku sosial disebabkan oleh perilaku
individu yang masing-masing membuat keputusannya sendiri. Teori ini berfokus
pada penentu pilihan individu (individualisme metodologis).
Teori pilihan rasional juga
berasumsi bahwa seseorang memiliki preferensi di antara beberapa pilihan alternatif
yang memungkinkan orang tersebut menyatakan pilihan yang diinginkannya.
Preferensi tersebut dianggap lengkap (orang tersebut selalu dapat menentukan
alternatif yang mereka inginkan atau tak ada alternatif yang diinginkan) dan
transitif (apabila pilihan A lebih diinginkan daripada pilihan B dan pilihan B
lebih diinginkan daripada pilihan C, maka A lebih diinginkan daripada C). Agen rasional kemudian mempertimbangkan informasi yang
ada, kemungkinan peristiwa, dan potensi biaya dan keuntungan dari menentukan
pilihan, dan bertindak konsisten dalam memilih tindakan terbaik.
Rasionalitas sering dijadikan
asumsi perilaku individu dalam model dan analisis ekonomi mikro dan muncul di hampir semua penjelasan
pembuatan keputusan manusia yang ada di buku pelajaran ekonomi. Rasionalitas
juga penting bagi ilmu politik modern sosiologi, dan filsafat. Versi turunan dari rasionalitas
adalah rasionalitas instrumental yang meliputi pencarian cara paling
hemat biaya untuk meraih tujuan tertentu tanpa melihat berharga atau tidaknya
tujuan tersebut. Gary Becker adalah salah satu pendukung penerapan
model perilaku rasional secara luas. Becker
dianugerahi Hadiah
Nobel Ekonomi tahun 1992 atas penelitiannya tentang
diskriminasi, kejahatan, dan modal manusia.
2.2.
Konsep
Teori Pilihan Rasional
Boudon (2009) mengatakan bahwa teori pilihan rasional menekankan
pentingnya kata “rasional” dimana kata ini bermakna bahwa perilaku merupakan
proses koginisi yang harus dapat dijelaskan. Selain itu teori ini juga
dijelaskan menggunakan istilah “utilitymaximizingapproach” berupa konsep bahwa
seseorang akan melakukan pilihan yang sangat menguntungkan bagi dirinya. Konsep
utilitymaximizingapproach mungkin bisa dilihat kesamaannya dengan teori pilihan
rasional dari eksperimen Neumann (1959) yang bertujuan untuk menjawab
pertanyaan “seberapa banyak pemain harus bermain untuk mendapat keuntungan
maksimal?”.Konsep Teori Pilihan Rasional secara teoritik bisa sangat kuat namun
ketika menjelaskan fenomena sosial menjadi sangat lemah (Boudon, 2009). Pada
saat memprediksi kemungkinan munculnya perilaku seseorang bisa jadi teori ini
sangat bermakna sehingga survey-survey menjelang pemilihan umum menjadi sumber
yang dianggap paling dipercaya untuk menjelaskan kemungkinan siapa yang akan
dipilih oleh responden. Namun jika terjadi fenomena, sebagaimana
ketidak-sesuaian hasil survey dalam contoh diawal maka teori ini sangat lemah
dalam menjelaskan fenomena tersebut.Namun demikian, hal ini tidak menghambat
penggunaan teori ini dalam berbagaiaplikasinya terutama dalam psikologi
politik, psikologi konsumen, dan psikologi moral.
Secara konseptual, teori ini masih merupakan teori yang baik dalam
memprediksi perilaku seseorang dalam situasi tertentu. Kajian politik, terutama
tentang perilaku pemilih masih sangat membutuhkan teori pilihan rasional dalam
memprediksi perilaku pemilih, begitu juga psikologi konsumen yang membutuhkan prediksi
bagaimana konsumen memilih produk tertentu, begitu juga psikologi moral yang
membutuhkan teori ini untuk memprediksi apakah seseorang akan melakukan
perilaku berdasarkan nilai moral tertentu.
2.3. Postulat-PostulatTeori Pilihan Rasional
Dalam kamus besar bahasa Indonesia Postulat dapat diartikan sebagai asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa
perlu membuktikannya; anggapan dasar; aksioma. Boudon (2009) mengatakan bahwa teori pilihan rasional memiliki enam
postulat, yaitu:
1) setiap fenomena sosial adalah akibat dari pilihan seseorang, perilaku,
sikap, dsb.,
2) perilaku dapat dipahami. Postulat pertama menunjukkan bahwa fenomena
sosial
merupakan gambaran dari berbagai aspek personal, diantaranya pilihan,
sedangkan postulat
kedua menjelaskan bahwa fenomena tersebut adalah rangkaian
dari kejadiankejadian yang
dapat dipahami.
3) pospulatketiga merupakan pospulat yang mendasari kata rasinal yaitu
prilaku. perilaku
muncul sebagai akibat
dari alasan-alasan yang ada dipikiran.Postulat.
4)mendasarkan pada pernyataan, bahwa alasan-alasan terhadap pilihan sebuah
perilaku
didasari pada penilaian terhadap konsekuensi dari pilihan tersebut.
5) penilaian terhadap konsekuensi didasarkan pada akibat yang akan
dirasakannya oleh
individu yang mengambil keputusan (egoisme).
6) Individu akan mengambil pilihan yang dirasakan paling menguntungkan bagi
dirinya.
Adapun kajian tentang pilihan rasional memiliki dua prinsip utama, yaitu
dominasi dan invariasi. Hal itu dijelaskan oleh Kahneman&Tversky (1984:
343) sebagai berikut:
- Konsep dominasi menunjukkan bahwa sesuatu (A) dipilih dari yang lain (B) karena sesuatu tersebut (A) memiliki keunggulan dari yang lain (B). Namun demikian, keunggulan tersebut tidak harus pada segala aspek namun setidaknya sesuatu yang dipilih (A) memiliki salah satu aspek yang lebih unggul daripada yang lain (B). Prinsip ini menunjukkan bahwa pilihan tersebut akan sangat tergantung dari keuntungan yang akan diperoleh.
- konsep invariasi menunjukkan bahwa preferensi/ minat dari pemilih terhadap pilihan yang tersedia tidak tergantung pada cara pilihan tersebut digambarkan.
Dengan demikian, konsep pilihan rasional mengatakan bahwa pilihan akan
rasional apabila tidak dipengaruhi oleh cara menggambarkan pilihan yang
tersedia baik A maupun B seharusnya digambarkan secara setara. Dengan demikian,
seseorang akan memiliki pilihan yang rasional jika A dan B dijelaskan secara
netral.
2.4.Rasional
Kognitif
Sebuah contoh
Tocqueville (1986 [1856]) menggambarkan bagaimana alasan-alasan atas
keyakinan-keyakinan dan perilaku actor-aktor kini bersifat “kognitif’. Dia
bertanya-tanya mengapa kaum intelektual perancis pada akhir revolusi sangat
kuat diyakini dalam gagasan tentang meyakini Reason (Alasan) dalam huruf besar
dan mengapa gagasan itu dengan cepat tersebar luas di kalangan public seperti
api yang berkobar-kobar. Hal ini adalah suatu fenomena yang enigmatic, yang
tidak terlihat pada waktu itudi inggris, Amerika Serikat, ataupun Jerman. Dan
merupakan fenomena yang memiliki konsekuensi makrokospik yang luar biasa besar.
Penjelasan Tocqueville
termasuk menunjukkan bahwa orang-orang perancis di akhir abad kedelapan belas
memiliki alsan-alasan yang kuat untuk meyakini pada Reason (Alasan). Diperancis
pada waktu itu, banyak lembaga tradisional yang tampaknya tak abash. Salah
satunya adalah ide bahwa kaum bangsawan lebih tingggi kedudukannya dibandingkan
dengan Majelis Ketiga (Third Estate).
Kaum bangsawan tidak berpartisipasi dalam urusan-urusan politik maupun
kehidupan ekonomi warga setempat; mereka lebih menghabiskan waktu mereka di
Versailles. Orang-orang yang tetap tinggal di daerah pedesaan berpegang sangat
teguh pada hak-hak istimewa meraka, semakin miskin mereka semakin kuat mereka
berpegang pada hak-hak istemewa itu. Hal ini menjelaskan mengapamereka
dipanggil dengan nama sejenis burung kecil yang biasa menjadi mangsa burung
lain, hobereau; suatu metaphor yang
secara menyebar luas karena dianggap pas. Penyamaan-penyamaan berikut ini
terpatri dalam banyak pemikiran; Tradisi=Disfusi=Ilegitimasi, dan sebaiknya,
Alasan=Kemajuan=Legitimasi. Oleh karena alur argument ini adalah latent atau
tersembunyi dalam pikiran-pikiran orang muka seruanpara filsuf untuk membangun
suatu masyarakat yang didirikan atas dasar Alasan langsung menuai sukses.
Di sisi lain,
orang-orang Inggris mempunyai alasan yang bagus untuk tidak meyakini ide-ide
itu. Di Inggris, kaum bangsawan memainkan peran yang sangat penting: mereka
menjalankan kehidupan social, politik dan ekonomi setempat. Superioritas yang
dinisbahkan kepada mereka dalam pemikiran tradisional rakyat biasa dan oleh
lembaga-lembaga Inggris dipahami sebagai sesuatu yang fungisional dan dengan
demikian sah. Secara umum, lembaga-lembaga tradisional Inggris tidak dianggap
sebagai disfungsional. Dengan kata lain, disiniTocqueville menyodorkan sesuatu
penjelasan antara Perancis dan Inggris; orang mempunyai alasan-alasan untuk bereaksi
seperti yang mereka lakukan apa adanya, tetapi alasan-alasan ini tidak bersifat
instrumental (Boudon2006).
Suatu keberatan
terhadap GTR adalah bahwa tindakan kerap didasarkan padaide-ide yang keliru dan
bahwa dalam kasus seperti itu tindakan yang diambil tidak bisa dianggap
rasional. Akan tetapi, berlawanan dengan ide yang diambil tidak bisa dianggap
rasional. Akan tetapi, berlawanan dengan ide yang umum diterima ini,
keyakinan-keyakinan palsu bisa didasarkan pada alasan-alsan yang kuat yaitu
alasan-alasan yang dianggap valid oleh subjek yang bersangkutan dan dalam
pengertian itu menjadi rasional seperti yang tampak pada contoh-contoh yang
biasa kita kenal.
VilfredoPareto benar
ketika mengatakan bahwa sejarah ilmu pengetahuan adalah kuburan dari semua ide
semua ide keliru yang pernah didukung oleh manusia dibawah otoritas para
ilmuwan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan biasanya menghasilkan ide-ide yang
keliru disamping ide-ide yang keliru itu didukung dan dibenarkan oleh para
ilmuwan dibawah pengaruh sebab-sebab yang irasional, karena otak para ilmuwan
barangkali sudah begitu kacau, atau karena pikiran mereka mungkin sudah
dikaburkan oleh “bias-bias kognitif”, “kerangka-kerangka”, “habitus” yang tak
memadai, oleh kepentingan-kepentingan kelas atau sebab-sebab efektif, atau
dengan kata lain kekuatan-kekuatan “biologis”, “psikologis”, atau “budaya”
sebagaimana dinyatakan oleh Becker. Para ilmuwan percaya ada
pernyataan-pernyataan yang kerap terbukti palsu atau keliru karena karena
mereka mempunyai alasan-alasan kuat untuk meyakininya, mengingat konteks
kognitifnya.
Kita tidak lagi percaya
pada gagasan bahwa alam membenci kekosongan. Akan tetapi, Aristoteles dan
sebagian besar orang yunani percaya, tentunya bukan karena mereka irasional,
melainkan karena mereka tidak tahu bagaimana menjelaskan banyak fenomena.
Orang-orang yang percaya pada teori Aristoteles tentang barometer, percaya pada
phlogiston, percaya pada ether atau
pada banyak entitas dan mekanisme-mekanisme yang sekarang tampak dimata kita
sesuatu yang imajiner sudah memberikan konteks kognitif, dizaman mereka,
alasan-alasan yang kuat untuk memercayai semua itu. Hal itu tidak langsung
dipahami sebagai sesuatu yang penting sehingga, ketika sedikit oksida merkuri
dipanaskan dibawah satu gelas bel kosong, setetes air yang tampak didinding
gelas bel itu juga harus diperhatikan. Tidak langsung terlihat bahwa tetes air
itu muncul dengan teratur, juga tak dipahami dengan jelas bahwa hal itu
bertentangan dengan teori phlogiston. Saat itusulit untuk memprediksi bahwa
tetes air ini akan member kemenangan kepada Lavoisier berhadapan dengan
Priestley.
Mengapa
keyakinan-keyakinan yang keliru atau palsu yang dihasilakn oleh pengetahuan
biasa tidak boleh dijelaskan dengan cara yang sama dengan keyakinan-keyakinan
ilmiah yang keliru, yaitu sebagai pengetahuan yang dalam benak sisubjeksocial
didasarkan pada alasan-alasan yang mereka pahami sebagai pengetahuan yang
valid, mengingat konteks kognitif dimana mereka bergerak.
Tak pelak,
keyakinan-keyakinan yang keliru sekutunya tidak selalu dijelaskan dengan cara
ini. Bahkan para ilmuwan mungkin saja percaya pada keyakinan-keyakinan palsu
dibawah pengaruh nafsu dan sebab-sebab lain yang benar-benar irasional. Tetapi
keyakinan dalam ide-ide yang keliru bisa juga disebabkan oleh alasan-alasan
yang ada dalampikiran-pikiran para akto. Bahkan, sekalipun alasan-alasan ini
bagi kita kelihatan palsu atau keliru, alasan-alasan itu tetap bisa dipahami
sebagai alasan-alasan yang benar dan kuat oleh actor-aktor itu sendiri. Untuk
menjelaskan bahwa mereka memahami sebagai sesuatau yang benar dari yang salah
itu, kita tidak perlu berasumsi, bahwa pikiran mereka dikaburkan oleh
mekanisme-mekanisme konjektural seperti yang dibayangkan oleh Marxism (“
kesadaran palsu”), SigmundFreud (“ketidaksadaran”), Lucien Levy- Bruhl (mentaliteprimitive), dan banyak pengikut
mereka, tidak juga oleh “kerangka-kerangka” yang ditawarkan oleh TPR. Dalam
kebnyakan kasus, kita mendapatkan penjelasan-penjelasan yang lebih bisa
diterima dengan berasumsi bahwa, mengingat konteks kognitif tempat mereka
bergerak, actor-aktor mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk percaya
padaide-ide yang keliru itu.
|
|
Berusaha Bunuh Diri
|
Tidak Berusaha Bunuh Diri
|
Total
|
|
Gejala-gejala depresi
|
a
|
b
|
e = a+b
|
|
Tidak ada gejala-gejala depresi
|
c
|
d
|
f = c+d
|
|
Total
|
g = a+c
|
h = b+d
|
i = a+b+c+d
|
Gambar
1.1. satu asumsi kasual dapat berasal dari informasi a jika a jauh lebih besar
dari, misalnya i.
Di tempat lain saya
sudah memberikan beberapa contoh yang menunjuk kan bahwa penjelasan rasional
atas keyakinan-keyakinan yang kita anggap normal dalam kasus
keyakinan-keyakinan ilmiah yang keliru dapat juga diterapkan pada pengetahuan
biasa. Saya terutama sudah mengeksplorasi kasus-kasus kepercayaan-kepercayaan
magis atau takhayul dan banyak keyakinan keliru lain yang diamati oleh para
psikolog kognitif ( Boudon 2001).
Saya akan membatasi
diripada satu contoh yang menjadi bagian dari kategori kedua. Ketika para
psikiatris ditanya apakah depresi adalah satu penyebab orang melakukan
percobaan-percobaan bunuh diri, mereka akan mengatakan “ya”. Ketika ditanya
mengapa, mereka akan menjawab bahwa mereka sudah kerap mengamati pasien-pasien
memperlihatkan dua aspek: banyak diantara pasien-pasien mereka tampak depresi
dan telah mencoba bunuh diri. Tentu saja jawaban ini menunjukkan bahwa para
psikiatris itu menggunakan sepotong informasih dalam table kemungkinan dalam
gambar 9.1: Argumen mereka mengatakan bahwa “a adalah tinggi, sehingga depresi
adalah satu penyebab orang melakukan percobaan bunuh diri.”
Nah guna menyimpulkan
bahwa ada suatu korelasi antara depresi dan percobaan-percobaan bunuh diri,
orang harus memerhatikan tidak hanya satu, melainkan empat potong informasi,
buka hanya “a” juga “a/e-c/f”yang berbeda-beda. Jadi tidak valid. Akan tetapi.
Ini tidak membuktikan bahwa kita sebenarnya berasumsi bahwa, katakanlah, otak
psikiatris itu adalah sangat kacau. Yang lebih mungkin, mereka
memilikialasan-alasan yang kuat secara subjektif dan valid secara objektif
untuk meyakini apa yangmereka yakini. Misalkan 20 persen dari pasien-pasien si
psikiatris ini memiliki gejala-gejala depresi, dan bahwa “g” juga sama dengan20
persen (20 persen dari pasien-pasien yang ada itu pernah mencoba bunuh diri).
Tentu saja angka yang lebih tinggi justru tidak realistis. Dengan asumsi ini,
dalam kasus dimana persentase “a” dari orang yang mewakili kedua factor itu
lebihbesar dari 4, maka kedua variabel itu akan menjadi berkorelasi, sehinga
kausalitas itu mungkin bisa dikatakan ada. Jadi, seorang psikiatris yang sudah
melihat, katakanlah , 10 dari 100 orang yang mewakili kedua factor itu akan
punya alasan-alasan yang serius untuk percaya pada adanya sebuah hubungan
kausal antara kedua aspek diatas.
Dalam contoh ini,
keyakinan si psikiatris itu tidak sepenuhnya keliru. Dalam contoh-contoh
lainnya, keyakinan-keyakinan yang dihasilkan oleh psikologi kognitif tampaknya
benar-benar keliru. Akan tetapi, dalam sebagian terbesar kasus, saya dapati
bahwa keyakinan-keyakinan ini bisa dijelaskan sebagai sesuatu yang didasarkan
pada alasan-alasan yang bisa denganmudah dipahami oleh pengamat.
Tampaknya alasan-alasan
ini bukanlah dari tipe “keuntungan minus biaya”. Yang ini merupakan
alasan-alasan yang sifatnya kognitif. Tujuan yang ingin dicapai oleh actor
bukanlah memaksimalkan sesuatu, melainkan untuk menentukan apakah sesuatu itu
mungkin atau benar. Jadi, selain dimensi instrumentalnya, rasionalitas juga
memiliki dimensi kognitif. Secara keseluruhan, GTR memberikan suatu penjelasan
yang lebih bisa diterima tentang banyak banyak fenomena ketiimbang solusi
ekleti yang tersebar luas yang mencoba untuk menjelasakan perilaku dengansuatu
campuran antara rasionalitas instrumental dan kekuatan-kekuatan irasinal.
Solusi ekletik berawal dari ide bahwa pilihan bisa dianggap rasional,
tetapiperilaku bisa dianggap sebagai sesuatu yang memasukkan komponen-komponen
irasional yang tak terhindarkan, yaitu, karena sebagian disebabkan leh
kekuatan-kekuatan sosiokultural anonym yang ada diluar kendali apa pun leh
pihak individu (Elster 1989). Sebaikanya, Weber, dan sosiologi-sosiologi
sebelumnya, antara lain Tocqueville, juga banyak sosiolog modern yang
mendefinisikan diri mereka sendiri dalam pengertian sosiologi interpretative
versi Weberian, berangkat dari ide bahwa keyakinan-keyakinan,
preferensi-preferensi, dan nilai-nilai seorang individu dapat dianalisis
sebagai pilihan rasional individu yang bersangkutan. Akan tetapi, teori ini
mengimplikasikan bahwa kita menerima suatu teori tentang rasionalitas termasuk
rasionalitas kognitif, dan penolakanatau deklinasi aksiologis rasionalitas
kognitif, dan penolakan atau deklinasi aksiologis rasionalitas kognitif,
disamping rasionalitas instrumental.
Pandangan tentang
rasinalitas kognitif dapat dirumuskan dengan mudah andaikan suatu sistem
argumen-argumen [S] → P yang menjelaskan suatu fenomena P, secara kognitif
adalah rasional untuk menerima [S] sebagai satu penjelasan yang valid atas P
jika semua komponen [S] bisa diterima dan saling cocok dan juga salingcocok dan
jika tidak tersedia penjelasan lain berupa [S]’ yang lebih yalaya dikuasai bagi
[S].
Gagasan
untuk menjelaskan keyakinan-keyakinan secara rasional dapat gambarkan dengan
satu contoh. Para fungisionaris, personel militer, dan para politisi dizaman
romawi kuno tertarik pada Mithraisme dan agama Kristen, dan di Prusia modern
dibawahFreemasonry, karena pemujaan–pemujaan ini bercirikan suatu visi tentang
transendensiyang spiritual yangtunduk kepada hukum-hukum yang lebih tinggi dan
suatu konsepsi tentang komunitas pemeluk sebagai satu kelompok yang harus
diorganisir secara hierarkis melalui cara-cara inisiasi ritual. Nah,
ajaran-ajaran yang mengatur keimanan seperti dalam agama-agama adalah konsisten
dengan filsafat social dan politik pada kategori-kategori social ini.
Anggota-anggotanya percaya bahwa suatu sistem social hanya bisa berfungsi
dengan baik jika diatur atau dikendalikan oleh satu masyarakat terorganisir
secarah hierarkis fungisional , dan bahwa hirarki itu harus didasarkan pada
kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan yang ditentukan sesuai dengan
prosedur-prosedur formal, seperti yang terjadi pada Negara Romawi kuno dan Prussia, secara
keseluruhan prinsip-prinsip bagi organisasi politik dari suatu Negara yang “
birokratis”, adalah dalam pandangan mereka, merupakanrefleksi dari satu
filsafat politik yang valid . dan mereka memahami ritual-ritual inisiasi
Mithraismdalam kasusperwira-perwira dan pegawai-pegawai pemerintah Romawi atau
Freemasonry dalam kasus pegawai-pegawai negeri Prusia sebagai prinsip-prinsip
yang sama didalam suatu bentuk metafisik-religius.
Berikut adalah suatu
contoh lain, masih dari Weber: dia menjelaskan mengapa kaum petani sulit
menerima monoteisme karena sifat fenomena alam yang serba tak pasti itu di mata
mereka sama sekali tidak cocok dengan gagasan bahwa tatanan yang mengatur
segala hal bisa tunduk pada satu kehendak. Monoteisme adalah suatu pandangan
yang mana di dalam dirinya sendiri mengisyaratkan adanya suatu derajat minimal
koherensi dan keterdugaan.
2.5.
Rasionalitas Aksiologis
“Rasionalitas
aksiologis”-nya Weber dipahami sebagai sesuatu yang sama dengan atau sinonim
dengan “konformitas nilai”. Alih-alih, saya juistru akan mengusulkan untuk
mempertimbangkan bahwa pernyataan itu akan mengusulkan untuk mempertimbangkan
bahawa pernyataan yang ada dalam pikiran aktor-aktor sosial didasakan pada
sistem-sistem alasan yang mereka pandang valid, tepatnya sebagai
keyakinan-keyakinan deskriptif (Boudon 2001).
Rasionalitas aksiologi
bisa didefinisikan secara formal bila suatu sistem argumken-argumen
N
mengandung sedikitnya satu pernyataan aksiologi dan menyimpulkan bahwa norma N
adalah valid, semua komponen |Q| dapat diterima dan saling cocok satu sama
lain, maka secara aksiologi, adalah rasional untuk menerima N jika tidak ada
sistem argumen lain |Q|’ yangb dapat menggantikan |Q| dan kemungkinan untuk
lebih memilih N’ ketimbang N pun tersedia.
Instusi yang terkandung
dalam pandangan Weber ini tampaknya sudah ada pada pemikir-pemikir terdahulu,
seperti contoh Adam Smith, yang dengan sendirinya merupakan bukti tak langsung
relevansinya. Meski diakui bahwa karya Smith Theoryof Moral Sentimens tidak bersandar padsa TPR, kadang-kadang
orangn percaya bahwa karyanya yang lebih baik The WealthofNations didasarkan pada TPR. Tetapi contoh berikut ini
menunjukkan bahwa bahkan dalam buku ini pun Smith juga menggunakan GTR.
Mengapa, tanya Adam
Smith (1976 [1776]: Buku 1, Bab10), apakah kita mengganggap normal bila algojo
digaji tinggi? Kualifikasi-kualifikasinya toh rendah. Pekerjaanya hanya
mensyaratkan satu tingkat latihan dan kompetensi yang rendah, dan pekerjaannya
itu badalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan, maka seharusnya diberi
kompensasi dengan gaji yang tinggi. Alasan-alasan lain menjustifikasi fakta
bahwa dokter-dokter juga dibayar tinggi: pekerjaan mereka menggiurkan dan
menghasilkan banyak uang. Mereka mendapat kepuasan dalam melakukan pekerjaan.
Akan tetapi, karena pekerjaan itu melibatkan satu tingkat tanggung jawab,
stres, dan kegelisahan yang tinggi serta rentan terhadap kritikan orang bila
pengobatan yang mereka rekomendasikan gagal, maka mereka juga harus diberi
kompensasi atas aspek-aspek negatif pekerjaanya itu berupa satu pendapatan
layak yang agak tinggi., Pekerjaan-pekerjaan lainn menuntut
kualifikasi-kualifikasi yang lebih rendah, tidak terlalu tak-menyenangkan, dan
hanya menuntut tingkat tanggung jawab yang tak terlalu tinggi. Dalam kaus-kasus
ini, gaji yang rendah bisa dibenarkan. Dengan kata lain, dalam pembahasan-pembaasannya
tentang gaji, Smith berangkat dari ide bahwa gaji-gaji yang merupakan imbalan
atas berbagai tipe aktivitas biasanya orang anggap cukup adil. Kedua, rasa
keadilan ini didiktekan oleh suatu sistem alasan-alasan yang relatif implisit
yang sedikit banyak dipahami oleh semua orang. Ketiga, alasan-alasan ini
berkaitan dengan sejumlah dimensi satu pekerjaan tertentu, dan terakhir,
mengingat karakterisasi suatu pekerjaan dalam kaitannya dengan dimensi-dimensi
iini, maka borang pada umumnya berkesimpulan bahwa pekerjaan-pekerjaan tertentu
harus dibayar tinggi. Menggunakan sebuah konsep dariTheoryof Moral
Sentiments-nya Smith, konsensus relatif yang muncul dalam kaiotannya dengan
pertanyaan tentang apakah suatu pekerjaan seharusnya dibayar lebih tinggi dari
pekerjaan-pekerjaan lainnya berasal dari serangkaian alasan yang dikembangkan
oleh “penonton-penonton” yang tak memihak (importialspectators),”
oleh individu-indivig mencoba memahami sistem-sistem alasan-alasan yang akan
bisa diterima oleh semua orang.
Pertama-tama analisis
Smith tidak menggunakan TPR. Orang tidak bereaksi sebagaimana yang mereka
lakukan ketika mereka belajar bahwa beberapa tipe pekerjaan tertenrtu dibayar
sedemikian karena pekerjaan itu akan memaksimalkan perbedaan-perbedaan tertentu antara keuntungan dan biaya-biaya. Mereka
punya alasan untuk meyakini apa yang mereka yakini, tetapi alsan-alasan ini
bukanlah tipe biaya-keuntungan, bahkan bukan pula tipe konsekuensinya. Argumen
Smith justru mengambil bentuk berupa suatu deduksi dari sejumlah nprinsip.
Menurut Smith, orang merasa bahwa membayar para pekerja tambang dan algojo
dengan bayaran yang tinggi adalah salah satu hal yang adil berdasarkan
alsan-alasan mendasar yang diambil dari prinsi-prinsip tertentu. Jikia para
pekerja tambang dibayar dengan gaji yang tidak lebih tinggi dari, misalnya,
pegawai-pegawai kantoran rendahan, hal ini mungkin akan menimbulkan sejumlah
konsekuensi (seperti mogok kerja pekerja tambang, kataknalh), tetapi
konsekuensi-konsekuensi aktif ini bukanlah penyebab dari fakta bahwa kebanyakan
orang beranggapan bahwa pekerja tambang harus dibayar lebih banyak. Orang tidak
percaya pada pernyataan ini hanya karena mereka takut akan akibat-akibat akhir
tersebut.
Michael Walzer, seorang
teorisi kontemporer di bidang etika, mengajukan sejumlah analisis tentang
sebagian sentimen-sentimen moral kita, mirip dengan yang dilakukan Smith
(Walzer 1983). Kita beranggapan bahwa konskripsi (biasa dikenal sdengan istilah
lain ‘wajib militer’ karena hanya berlaku untuk militer/tentara-pen) adalah
suatu metode rektumen yang sah dan tak melanggar hukum kalau merngakut
pertentaraan dan militer: hal yang sama tidak berlaku untuk rekrytmen pekerja
tambang, misalnya, karena fungsi tentara-bukan fungsi pekerja tambang-sangatlah
vital untuk kalangan pekerja tambang (dalam arti bahwa setiap warga negara bisa
dikenal kewajiban untuk menjadi pekerja tambvang-pen), maka hal yang sama
tentunya bisa juga diterapkankepada setiap, dan pada akhirnya semua, jenis
aktivitas apa pun, hingga lahirlah sebuah rezim yang tak sejalan dengan
prinsip-prinsip demokrasi. Dengan cara yang sama, orang dengan mudh menerima
bahwa tentara dipekerjakan sebagai pengumpul sampah dalam situasi-situasi
darurat, seperti dalam situasi pasca-bencana alam, misalnya. Akan ytetapi, akan
dianggap tak lumrah atau bahkan tidak sah bila mereka digunakan untuk
tugas-tugas semacam itu dalam situasi-situasi didasarkan pada alasan-alasan
yang cenderung diyakini bersama oleh banyak orang, bukan pada alasan-alasan
darin tipe yang dibicarakan dalam TPR.
Pandangan-pandangan
sepertri keadilan (fairness) tentu
saja bisa dipengaruhi oleh parameter-parameter kontekstual. Jad, dalam
permainan ultimatum seperti tersebut di atas, usulan 50/50 lebih sering ditemui
di masyarakat-masyarakat di mana kerja sama dengan tetangga seseorang sangat
esensial sifatnya bagi aktivitas ekonomi yang sedang berjaqlan ketimbang di
dalam masyarakat-masyarakat di mana kompetisi atau persaingan antartetangga
berkembang pesat (Henrichetal. 2001). Meski demikian, temuan-temuan semacam itu
tidak cocok dengan interpretasi rasional tentang keyakinan-keyakinan moral
tentunya. Temuan-temuan itu justru menunjukkan bahwa suatu sistem yang terdiri
dari sejumlah alasan adalah lebih miudah
dipahami konteks-konteks tertentu dibandingkan dengan dalam konteks-konteks
lainnya. Ringkasnya, meskipun variasi konteksual dalam hal keyakinan-keyakinan
moral pada umumnya diinterpretasikan sebagai sesuatu yang memvalidasi satu
pandangan kultural-kultural tentang perasaan-perasaan aksiologis, paradigma konteksual-konteksual
yang digambarkan oleh contoh-contoh di
atas tampaknya lebih memuaskan; karena menawarkan penjelasan-penjelasan yang
memadai, yaitu penjelasan-penjelasan tanpa kotak-kotak hitam.
2.6.
Prestasi Prestasi TPR
Tak diragukan lagi TPR
telah berhasil menginspirasi penjelasan-penjelasan yang meyakinkan atas
berbagai fenomena sosial yang membingungkan.
Kekuatan ilmiahnya bahkan sudah ditemukan sebelum ia diberi nama. Karya
Alexis deTocqueville menggambarkan hal ini. Beberapa analisisnya menggunakan
apa yang kemudian disebut TPR dalam penjelasannya tentang relative stagnannya
pertanian Prancis di akhir abad kedelapan belas bila dibandingkan dengan
pertanian Inggris (Tocqueville 1986 [1856]). “Sentralisasi pemerintahan” yang
menjadi ciri Perancis abad kedelapan belas adalah penyebab dari fakta bahwa ada
banyak jabatan tersedia bagi pegawai-pegawai negeri di Perancis saat itu,
mengingat pentingnya Negara pusat, sehingga mereka pun lebih prestisius
ketimbang di Inggris. Kedua faktor ini memicu naiknya tingkat absentisme tuan
tanah di sana, jauh lebih tinggi daripada yang terjadi di Inggris. Tuan-tuan
tanah kaya di Prancis lebih suka membeli surat pengangkatan sebagai pegawai
negeri sipil dan meninggalkan tanah-tanah mereka. Oleh Karena itu, petani-petani
yang menyewa tanah mereka tidak memiliki kemampuan untuk berinovasi seperti
halnya para pemilik tanah itu, tingkat inovasi pertanian di Perancis lebih
rendah dari tingkat inovasi pertanian di Inggris. Sebaliknya, di Inggris, para
pemilik tanah justru lebih berminat untuk tampil sebagai inovator. Jika mereka
ingin terpilih untuk menduduki kursi di
Westminster, mereka memahami bahwa mereka harus tampil di hadapan para pemilih
setempat agar bisa memperbaiki kehidupan sehari-hari mereka, terutama dengan mengintrodusir
inovasi-inovasi yang memiliki dampak- dampak positif bagi semua orang.
Terakhir, Tocqueville berhasil menjelaskan perbedaan makrokospik yang
membinggungkan pada alur modernisasi pertanian antara Perancis dan Inggris pada
akhir abad kedelapan belas sebagai dampak dari tindakan-tindakan rasional individu. Konteks Perancis membuat
pemilik tanah memperoleh suatu keuntungan dalam hal kekuasaan,
Pengaruh,prestise, dan bahkan pendapatan dengan menjadi seorang pegawai negeri.
Konteks Inggris berarti bahwa pemilik tanah agak terdorong untuk mengurusi
tanahnya dan tampil sebagai seorang inovator yang dinamis, bahkan dalam kasus
di mana dia memiliki ambisi- ambisi politik yang lebih besar sekalipun. Teori
Tocqueville memberi kesan kemandirian, pertama-tama karena
pernyataan-pernyataan empirisnya tampak kongruen dengan data observasional, dan
kedua karena pernyataan-pernyataannya yang menjelaskan mengapa aktor-aktor
berperilaku seperti itu adalah terbukti dengan sendirinya atau sudah sangat
jelas (selfevident), bukan dalam pengertian yang logis melainkan dalam
pengertian psikologis.
Pertanyaan makrokospik
kedua yang tak kalah membi-ngungkan
berkaitan dengan salah satu peristiwa yang paling mengesankan di bad kedua
puluh memberikan satu ilustrasi kedua tentang kekuatan dari TPR. Mengapa Perang
Dingin berlangsung hinga beberapa dasawarsa dan kemudian berakhir dengan
tiba-tiba? Mengapa imperium Soviet runth secara tiba-tiba pada 1990-an dan
bukan 20 tahun sebelum atau sesudahnya? Sebab-sebab umum seperti rendahnya
efisiensi ekonomi yang ada pada sistem dan pelanggaran hak-hak asasi
manusia tidak bisa menjelaskan mengapa
Soviet runtuh pada saat itu atau mengapa ia runtuh dengan begitu tiba-tiba. TPR
bisa membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, dunia Barat dan Uni
Soviet terlibat dalam sebuah lomba persenjataan segera setelah berakhirnya
Perang Dunia II. Kini perlombaan senjata itu memiliki satu struktur “dilema
narapidana (prisoner’sdilemma (selanjutnya disingkat PD-pen.)). Jika saya
(pemerintah AS) tidak meningkatkan potensi militer saya sementara orang lain
(pemerintah Un Soviet) melakukannya, maka itu berarti saya menghadapi satu
resiko kematian. Jadi saya harus meningkatkan potensi militer sya, meskipun,
sebagai pemerintah, saya akan lebih suka mengeluarkan sedikit saja uang untuk
persenjataan dan lebih banyak uang untuk, katakanlah, sekolah-sekolah, rumah
sakit, atau kesejahteraan, karena itu semua akan lebih dihargai oleh para
pemilih. Dalam situasi ini, menambah jumlah persenjataan adalah satu strategi
yang doniman, kendati hasilnya tidak akan optimal. ASdan Uni Soviet memainkan
permainan ini selama berpuluh-puluh tahun dan menimbun begitu banyak senjata
nuklir yang adalah bahwa pertandingan PD yang menjadi ciri hubungan-hubungan
antara AS dan Uni Soviet tiba-tiba dihancurkan oleh manuver Reagan. Dalam kasus
ini, sebuah pendekatan TPR membantu mengidentifikasi salah satu penyebab utama
dari suatu fenomena sejarah makrokospik yang besar. Pendekatan TPR memberikan
penjelasan tentang bagaimana MikhailGorbachev melakukan satu gerakan yang akan
berakibat fatal bagi Uni Soviet , dan mengapa Uni Soviet runtuh pada titik
waktu itu. Dalam kasus ini, kita mendapat penjelasan tanpa kotak-kotak hitam
tentang mengapa perlombaan senjata yang “bodoh”itu dilakukan pada awalnya, dan
mengapa perlombaan senjata itu tiba-tiba
berhenti pada satu titik waktu tertentu, meninggalkan salah satu protagonisnya
dalam keadaan kalah. Penjelasan itu berhasil karena postulat-postulat TPR, meski
reduksionis, adalah bukannya tak realistis : memang benar bahwa pemerintah mana
pun harus bersikap “egoistis,” yaitu bahwa ia harus mengurusi dan
memperjuangkan kepentingan-kepentingan bangsanya sendiri.
Tampaknya akan mudah
menyebutkan banyak karya modern yang meminjam nilai ilmiahnya dari fakta bahwa
karya-karya itu menggunakan model TPR. Orang bisa berfikir tentang karya-karya
para ekonom dan sejumlah sosiolog, seperti MancurOlson (1965), Anthony Oberschall
(1973), Samuel Popkin (1979), James Coleman (1990), Timur Kuran (1995), dan
Russell Hardin (1995), di antara banyak
lagi pakar yang lain, tetapi juga karya-karya sejerawan, seperti H.I.
Root(1994), atau ilmuwan-ilmuwan politik seperti B.Rothstein (2001). Jadi,tak
diragukan lagi bahwa TPR telah menghasilkan banyak kontribusi yang betul-betul
ilmiah. Hal ini menjelaskan mengapa, meski banyak dikritik oleh banyak
sosiolog, TPR juga sangat mapan dan matang,seperti dapat dilihat dari jumlah
pembaca jurnal ciptaan Coleman,RationalityandSoecity.
2.7.
TPR Dipertahankan Sebagai Sebuah Teori Umum
Jadi, TPR adalah suatu
teori yang kuat. Akan tetapi, tampaknya teori ini juga tak berdaya ketika
dihadapkan pada banyak fenomena sosial. Kita bisa membuat satu daftar yang
mengesankan yang berisi fenomena-fenomena yang kita temui sehari-hari yang
tidak bisa dijelaskan oleh TPR. Perpaduan antara keberhasilan dan kegagalan ini
layak digarisbawahi karena komunitas ilmu pengetahuan sosial tampaknya terbelah
menjadi dua kubu, yaitu kelompok yang menanggap TPR sebagai kitab suci baru dan
kelompok orng-orang yang tidak percaya pada kitab suci yang satu ini. Selain
itu, campuran keberhasilan dan kegagalan ini menimbulkan satu pertanyaan
penting seputar penyebab-penyebabnya.
Dua contoh berikut akan
menggambarkan satu poin bahwa TPR tampak tak berdaya ketika dihadapkan pada
fenomena sosial yang penting. Pengaruh dari suatu suara tunggal pada hasil
pemilu mana pun adalah sangat kecil, sehingga menurut TPR aktor-aktor rasional
seharusnya menghindari pemungutan suara, karena pelaksanaan pemungutan suara
bukannya tidak makan biaya. Sebagai salah satu dari pemilik ini, saya
seharusnya lebih suka beristirahat, berjalan-jalan, menulis satu artikel, atau
mengoperasikan vacuumcleanersaya
ketimbang memberikan suara. Toh, seperti yang dilakukan oleh banyak orang, saya
tetap memberikan suara saya. Jadi,tampaknya TPR tak mampu menjelaskan mengapa
banyak orang memberikan hak suaranya.
Banyak
“solusi”tentative sudah disodorkan untuk paradoks ini. Orang senang memberikan
hak suaranya, kata sebuah teori. Orang akan sangat menyesal bila tak
menggunakan hak suara mereka karena hal itu bisa membuat satu perbedaan
sehingga mereka pun memberikan hak suaranya bahkan sekalipun mereka tahu bahwa
kemungkinan hal ini terjadi sangat kecil, kata teori yang lain (Ferejohn dan
Fionira 1974). Jika saya tidak memilih, saya akan menghadapi resiko kehilangan
reputasi saya (Overbye 1995). Kadang-kadang, TPR dibuat menjadi lebih fleksibel
berkat adanya pandangan tentang “kerangka-kerangka kognitif”. Begitulah,
G.A.Quattrone dan Amor Tversky (1987) berpendapat bahwa seorang pemilih
memberikan hak suaranya karena ia memandang motivasinya untuk memilih sebagai
satu tanda bahwa partainya akan menang. Akan tetapi, “kerangka” semacam itu
tidak hanya tampak khusus untuk sesuatu maksud (ad hoc), tetapi juga menghadirkan suatu kotak hitam. A.A Schuessler
(2000) berpendapat bahwa para pemilih memiliki kepentingan ekspresif alih-alih
instrumental dalam menggunakan hak suaranya. Tak satu pun di antara
“solusi-solusi”ini diterima secara luas. Beberapa di antaranya, seperti solusi
yang diajukan oleh F.J. Ferejohn dan oleh M. Fiorina, memperlihatkan suatu kemampuan intelektual yang tiggi. Toh,
mereka tetap tidak bisa menghapus “paradoks”itu.
Selain pemunggutan
suara, ada “paradoks-paradoks”klasik lainnya yang bisa disebutkan di sini.
“Paradoks-paradoks” Maurice Allais menunjukkan bahwa, ketika berhadapan dengan
lotere, dalam banyak situasi orang tidak menentukan pilihnnya sesuai dengan
prinsip memaksimalkan manfaat atau keuntungan yang diharapkan (Allais dan Hagen
1979 ; Hagen 1995). Bruno Frey (1997) sudah menunjukkan bahwa orang
kadang-kadang lebih mudah menerima
ketidksepakatan tertentu bila tidak ada kompensasi ditawarkan kepadanya
dibandingkan bila ada sejumlah kompensasi yang ditawarkan atau diberikan. Jadi,
dalam suatu kajian, orang justru lebih mudah menerima kehadiran limbah nuklir
di tanah kota merekaketika mereka tidak ditawari kompensasi, dan bukan
sebaliknya.
Sosiologi telah
menghasilkan banyak penelitian, yang bisa dibaca sebagai tantangan bagi TPR.
Jadi, reaksi negatif subjek-subjek sosial terhadap situasi tertentu dalam
banyak kasus tidak ada hubungannya dengan biaya-biaya yang harus dihhadapi atau
dibayar oleh subjek-subjek ini karena adanya situasi tersebut. Di sisi lain,
tindkan-tindakan bisa sering diamati, sesuatu yang tidak ada untungnya, atau
bahkan negatif, bagi aktor. Dalam
bukunya WhiteCollar, C. WrightMills (1951) mengidentifikasi sesuatu yang bisa
disebut “paradoks reaksi yang berlebihan (overreactionparadox)”.
Dia menggambarkan perempuan-perempuan pegawai yang sedang bekerja di suatu
perusahaan di mana mereka semua
melakukan tugas-tugas yang sama, duduk di satu ruangan besar, masing-masing
memiliki meja yang sama, dan lingkungan kerja yang sama. Konflik-konflik keras
terjadi hanya karena soal-soal sepele, seperti misalnya karena ditempatkan
lebih dekat dengan sumber api atau cahaya. Seseorang yang mengamatinya dari
luar biasanya akan menganggap konflik
semacam itu irasional. Oleh karena itu, perilaku perempuan perempuan itu akan
tampak aneh baginya dalam pengertian model TPR, pengamat ini akan beralih ke
sebuah interpretasi irasional seperti perilaku kekanakan. Dengan demikian,
pengamat ini akan mengakui bahwa TPR tidak bisa dengan mudah menjelaskan
paradoks reaksi yang berlebihan yang diamatinya itu.
Kalangan psikolog telah
menghasilkan banyak eksperimen,termasuk “permainan ultimatum (ultimatum game)”
yang klasik itu (Hoffman dan Spitzer 1985; Wilson 1993: 62-63), yang menolak
TPR. Dalam permainan ini, pemainan A boleh mengusulkan bagaimana sejumlah tertentu
uang harus dibagi antara dirinya dan B. B hanya bisa menerima atauu menolak
usulan A. Jika ia menolak, A dan B tidak akan mendapat apa-apa. Jika B
menerima, dia mendapat sejumlah uang yang diusulkan oleh A. TPR meramalkan
bahwa A akan mengusulkan, katakanlah, “80 persen dari total jumlah uang ini
untukku, 20 persennya untuk B”. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus, A
justru mengusulkan pembagian 50/50. Yang cukup menarik, para peneliti dari
Zurich telah menunjukkan bahwa,
berlawanan dengan TPR, subjek B normalnya akan menolak pembagian seperti
“80 persen untuk A, 20 persen untuk B”, sementara ketika beberapa bagian
tertentu dalam otaknya dinonaktifkan melalui stimulasi magnetic, akan
menerimanya (Henderson 2006). Kasus-kasus ini menjadi berita pahit bagi TPR,
karena orang berperilaku sesuai dengan prediksi-pediksinya dalam permainan
ultimatum ketika cara kerja dari otaknya yang normal diubah.
Banyak
penelitian yang akrab dengan kehidupan kita sehari-hari tidak bisa ditafsirkan
secara memuaskan dalam kerangka-kerja TPR. Dalam kondisi-kondisi yang berlaku
luas di kebanyakan Negara barat, korupsi secara politik tidak berdampak nyata
bagi orang biasa: orang tidak melihat ataupun merasakan dampak- dampaknya. Meski demikian, dia menganggap korupsi sebagai
sesuatu yang tidak bisa diterima. Plagiarisme justru bisa menguntungkan
kepentingan orang yang dijiplak karyanya, karena plagiarisme menarik perhatian
publik pada si pengarang asli. Meski demikian, plagiarisme dikecam keras. Atas
sejumlah persoalan tertentu, seperti hukuman mati, misalnya, saya bisa memiliki
perasaan-perasaan yang kuat, bahkan sekalipun kemungkinan bahwa saya secara
personal memilki perhatian penuh hal itu tidak ada sama sekali. Dengan kata
lain, dalam banyak situasi, orang dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan yang
takada hubungannya dengan kepentingan-kepentingan atau minat-minatnya sendiri
maupun dengan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh tindakan-tindakan atau reaksi-reaksi mereka.
2.8.
Prinsip-Prinsip Teori Pilihan Rasional.
Prinsip - prinsip yang
mendasari teori pilihan rasional dapat diringkas dalam tiga pemyataan berikut
ini:
1) menjelaskan
suatu fenomena sosial berarti menjadikannya sebagai akibat atau konsekuensi
dari seperangkat pernyataan yang harus bisa diterima sepenuhnya dengan mudah;
2) teori sosiologi yang baik adalah suatu teori
yang menafsirkan segala fenomena sosial
sebagai hasil dari tindakan-tindakan
individu; dan
3) Tindakan-tindakan
harus dianalisis sebagai (tindakan) yang "rasional.” M. Hollis (1977)
menyatakannya sebagai berikut: "tindakan rasional adalah penjelasannya
sendiri". James
Coleman (1986: 1) beranjak lebih jauh, dan menyatakan
bahwa suatu tindakan bisa dianggap
”dijelaskan” jika dan hanya jika tindakan
itu diperlakukan sebagai (tindakan yang) "rasional":
Jadi,
"tindakan-tindakan rasional individu memiliki suatu daya tarik yang unik
sebagai dasar
bagi teori sosial. Jika suatu lembaga atau suatu proses sosial
bisa dijelaskan sebagai tindakan
tindakan rasional yang dilakukan oleh individu-individu,
selanjutnya dan hanya pada kasus
tersebut kita bisa mengatakan bahwa lembaga
atau proses sosial itu sudah dijelaskan”.
2.9.
Alasan-Alasan atas Kekurangan-Kekurangan TPR
Fenomena-fenomena
sosial yang terbukti tidak bisa dijelaskan oleh TPR memiliki banyak fitur yang
sama. Tiga tipe fenomena yang lolos dari yurisdiksi TPR dapat diidentifikasi
sebagai berikut.
Sebagai perilaku apapun
pasti melibatkan keyakinan-keyakinan. Untuk memaksimalkan peluang saya untuk
bisa terus bertahan hidup, saya akan melihat sekitar saya sebelum menyebrang
jalan. Perilaku ini didiktekan oleh keyakinan saya bahwa, kalau saya tidak
menoleh ke kanan dan ke kiri, saya sedasng mengambil resiko yang serius.Dalam
kasus semacam itu Keyakinan yang terlibat sangatlah lumrah dan jamak. Seorang
analis tidak perlu melihatnya lebih dekat bahkan sekilas pun. Akan tetapi,
untuk menjelaskan item-item perilaku lainnya, sangat penting bagi kita untuk
menjelaskan keyakinan-keyakinan yang mendasarinya. Nah, di sini TPR tidak punya
apa-apa untuk disampaikan pada kita sehubungan dengan keyakinan-keyakinan itu.
Jadi, tipe fenomena pertama yang resisten terhadap TPR termasuk hal-hal yang
bercirikan fakta bahwa aktor-aktor mendasarkan pilihan-pilihan mereka pada
keyakinan-keyakinan yang tak lumrah.
Kita bisa berdalil
bahwa seorang aktor dapat berpegang pada satu keyakinan tertentu karena dia
mendukung suatu teori tentang mana keyakinan adalah sebuah konsekuensi, dan
bahwa mendukung suatu teori tentang mana keyakinan adalah suatu tindakan yang
rasional. Akan tetapi, di sini, rasionalitasnya bersifat kognitif, bukan
instumental: rasionalitas ini terkandung dalam kesukaan memilih teori yang
memungkinkan sosiolog menjelaskan fenomena-fenomena tertentu dengan cara yang
paling memuaskan ( sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu). Jadi, TPR
mengalami kesulitan karena ia mereduksi rasionalitas itu menjadi raeasionalitas
instrumental. Para pengikut TPR sudah mengembangkan satu jawaban yang menarik
terhadap keberatan dan penolakan ini. Gerard Radnitzky (1987) berpendapat bahwa
mendukung suatu teori adalah hasil dari suatu analisis biaya-keuntungan atau
untung-rugi. Jadi, menurut Radnitzky, seorang ilmuwan berhenti meyakini suatu
teori ketika keberatan-keberatan yang diajukan terhadap teori itu, itu
membuatnya merasa bahwa mempetahankan atau membela teori itu akal terlalu
“mahal” . Memang sulit menjelaskan mengapa suatu lambung kapal lenyap dari
cakrawala lebih dulu sebelum tiangnya, mengapa bulan berbentuk sabit, mengapa
seorang navigator yang terus mempertahankan arah yang sama kembali ke titik
keberangkatannya jika kita menerima teori bahwa bumi itu datar.
Akan tetapi, apa yang
kita dapat dengan mengganti kata “sulit” dengan kata “mahal” ? Mempertahankan
suatu teori tertentu lebih “mahal” karena memang lebih sulit. Kita harus
kemudian menjelaskan mengapa demikian dan dari rasionalitas instumental kita
kembali ke rasionalitas kognitif. Kita lebih suka teori Torricelli-Pascal tidak
begitu mahal untuk dipertahankan. Akan tetapi, itu tidak terlalu mahal karena, pertama , teori itu tidak mengandung ide
antropomorfik yang meragukan bahwa alam tidak akan menyukai kekosongan, dan, kedua, teori itu memprediksi dengan
tepat mengapa air raksa dalam sebuah barometer naik lebih tinggi di kaki gunung
dibandingkan dengan puncak gunung.Sepanjang kita belum mwngwnali
perbedaan-perbedaan ini, kita tidak dapat menjelaskan mengapa mempertahankan
teori Aristotelian itu lebih mahal.
TPR tak berdaya
menghadapi kategori fenomena yang kedua: fenomena-fenomena yang bercirikan
fakta bahwa aktor-aktor mengikuti keyakinan-keyakinan preskriptif yang
nonkonsekuensialis. TPR nyaman bersama dengan keyakinan-keyakinan preskriptif
sepanjang keyakinan-keyakinan itu konsekuensial. TPR eengan sangat mudah
menjelaskan mengapa kebanyakan orang percaya bahwa lampu-lampu pengatur semacam
itu menimbulkan ketidaknyamanan, saya menerimanya karena lampu-lampuitu
memiliki konsekuensi-konsekuensi yang saya nilai menguntungkan. Di sini, TPR
secara efektif menjelaskan keduanya yaitu keyakinan dan reaksi yang ditimbulkan
oleh keyakinan itu. Akan tetapi, TPR menjadi bisu ketika sampai pada
keyakinan-keyakinan normatif yang belum bisa dijelaskan dalam terma-terma
istilah-istilah konsekuensialis (Boudon 2001,2004). Subjek dalam satu
“permainan ultimatum” berindak bertentangan dengan kepentingan-kepentingannya
sendiri. Para pemilih mnggunakan hak pilihnya, bahkan sekalipun mereka tahu
bhwa suara mereka tidak akan mempengaruhi hasil pemilihan umum. Warga negara
sangatb keras mengecam dan menentang korupsi, meski korupsi itu tidak
memengaruhinya secara personal. Penjiplak menimbulkan perasaan jijik dan tak
hormat, meski ia tidak melukai siapa pun. Kita menyalahkan penipu, meskipun
intrik-intriknya tidak menimbulkan masalah bagi orang lain selain dirinya
sendiri.
TPR tak berdaya
menghadapi kategori fenomena yang ketiga, yang melibatkan perilaku
individu-individu yang tidak bisa kita asumsikan sebagai perilaku yang
ditentukan oleh kepentingan-diri-sendiri. Di mana pun drama
Antigone-nyaSophocles dimainkan, penonton drama tragedi itu tak segan-segan
mengecam Creon dan mendukung Antigone. Alasan mengapa TPR tidak mampu
menjelaskan reaksi universal inio adalah sederhana saja:
kepentingan-kepentingan penonton sama sekali tidak terkait dengan hal yang
sedang mereka tonton. Dengan demikian kita tidak bisa menjelaskan reaksi mereka
melalui konsekuensi-konsekuensi yang tidak bisa menjelaskan reaksi mereka
melalui konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh drama tragedi
terhadap mereka, tidak ada konsekuensi-konsekuensi semacam itu. Penonton tidak
terlibat secara langsung dengan nasib Thebes, karena nasib itu menjadi milik
masa lalu dan tak seorang pun bisa mengendalikannya lagi. Dalam kasus ini
konsekuensionalisme dan postuat-postulat kepentingan-diri-sendiri berdasarkan
fakta dengan sendirinya menjadi gugur.
Para sosiolog kerap
menemukan diri mereka sendiri menghadapi fenomena semacam ini, karena
aktor-aktor sosial tetap dan teratur diminta mengevaluasi situasi-situasi di
mana mereka tidak terlibat secara personal. Hukuman mati tidak mengancam
keluarga maupun teman-teman mereka. Toh, tetap saja banyak di antara mereka
memilliki pendapat-pendapat yang kuat terhadap masalah itu. Bagaimana
serangkaian yang berasumsi bahwa mereka adalah subjek-subjek yang mempunyai
kepentingan bisa menjelaskan reaksi-reaksi mereka dalam situasi-situasi di mana
kepentingan-kepentingan mereka tidak terlibat dan tidak ada peluang bagi mereka
dan kepentingan-kepentingan mereka uintuk bisa terlibat sama sekali? Pernyataan-pernyataan ini membawa kita pada
suatu kesimpulan yang krusial bagi ilmu-ilmu pengetahuan sosial sebagai satu
keseluruhan, yaitu bahwa TPR tidak memiliki sedikit hal yang bisa
diberitahukannya pada kita tentang pendapat umum, sebuah pokok bahasan yang
besar dan penting bagi para sosiolog.
Ringkasnya, TPR tak
berdaya ketika sampai pada fenomena-fenomena yang melibatkan
keyakinan-keyakinan prespiktifnonkonsekuensialis, dan/ atau yang
mengikutserakan reaksi-reaksi yang, karena sifat asli dari suatu hal, tidak
berasal dari pertimbangan yang didasarkan pada kepentingan pribadi apa pun.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan.
Penjelasan Boudon
(2009) mengenai Teori Pilihan Rasional yang secara teoritik bisa sangat kuat
namun sangat lemah saat menjelaskan fenomena sosial mungkin bisa dijadikan
kalimat yang penting dalam menyimpulkan teori ini. Peran emosi yang terabaikan
dalam teori pilihan rasional menjadi salah satu alasan mendasar teori ini tidak
cukup mampu dalam menjelaskan berbagai fenomena sosial.
Namun demikian,
beberapa fenomena politik, ekonomi, dan moral juga berhasil dijelaskan dengan
baik menggunakan teori pilihan rasional.Dengan demikian penggunaan teori ini
sebagai dasar untuk menganalisa perilaku sosial perlu sangat hati-hati.
Terlebih jika kita memperhatikan prinsip dari teori ini yang mengharuskan tiap
pilihan dipresentasikan secara setara atau sama. Asumsi ini justru menjadi
ganjalan terbesar aplikasi teori pilihan rasional karena hampir tidak ada
kondisidimana pilihan-pilihan tersebut benar-benar disajikan kepada calon
pemilih secara setara.
Akan tetapi apresiasi
yang besar tetap perlu diberikan kepada perkembangan teori ini sebagaimana yang
pernah dilakukan APA pada tahun 1983 kepada artikel yang dituliskan oleh
Kahneman&Tversky tentang pilihan rasional. Penghargaan ini diberikan karena
artikel tersebut telah banyak menginspirasi para pengambil kebijakan dalam
berbagai bidang, terutama ekonomi. Berdasarkan artikel tersebut, banyak strategi
pemasaran dilakukan yang mendasarkan pada kajian teori pilihan rasional.
Perkembangan teori ini
ke depan bisa jadi sangat potensial jika teori ini juga mengkolaborasikan emosi
sebagai salah satu aspeknya. Untuk sampai pada tahap ini tentunya pada ilmuan
harus membangun asumsi bahwa emosi merupakan akibat dari rasionalitas
seseorang. Hal ini bukan tidak mungkin karena saat ini sudah munculpenelitian
yang mencoba membangun hubungan antara penalaran dengan emosi pada diri
individu walaupun masih penuh perdebatan mengenai emosi sebagai pemicu
penalaran atau penalaran sebagai pemicu emosi.
DAFTAR PUSTAKA
S.Turner, Bryan.
2009. “Teori Sosial dari Klasik Sampai Post Modern” dalam Pustaka Pelajar (Ed) The New BlackwellCompanion To SocialTheory.Yogyakarta.

No comments:
Post a Comment